Sabtu, 29 September 2012

PENGERTIAN BID'AH MENURUT SUNNI (Dikutip dari Situs Blogger Muslim)

Pengertian Bid'ah Menurut Sunni

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.

Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).

Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:

بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).

Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;

اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.

Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :

نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.

Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.

Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.

Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.

Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر

“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.

Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينةsama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

PENGERTIAN BID'AH MACAM-MACAM BID'AH DAN HUKUM-HUKUMNYA Oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

PENGERTIAN BID'AH MACAM-MACAM BID'AH DAN HUKUM-HUKUMNYA

Oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

PENGERTIAN BID'AH


Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.

Badiiu' as-samaawaati wal ardli
"Artinya : Allah pencipta langit dan bumi" [Al-Baqarah : 117]

Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Allah.

Qul maa kuntu bid'an min ar-rusuli
"Artinya : Katakanlah : 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul". [Al-Ahqaf : 9].

Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : "Fulan mengada-adakan bid'ah", maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.

Dan perbuatan bid'ah itu ada dua bagian :

[1] Perbuatan bid'ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.

[2] Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)". Dan di dalam riwayat lain disebutkan : "Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak".

MACAM-MACAM BID'AH

Bid'ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :

[1] Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

[2] Bid'ah fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :

[a]. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

[b]. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

[c]. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

[d]. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

HUKUM BID'AH DALAM AD-DIEN

Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak".

Dan dalam riwayat lain disebutkan :

"Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak".

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak.

Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid'ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo'a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid'ah seperti bid'ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah. Ada juga bid'ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo'a disisinya. Ada juga bid'ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid'ah Khawarij, Qadariyah dan Murji'ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid'ah yang merupakan maksiat seperti bid'ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima' (bersetubuh).

Catatan :
Orang yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid'ah adalah sesat".

Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid'ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid'ah) mengatakan tidak setiap bid'ah itu sesat, tapi ada bid'ah yang baik !

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya "Syarh Arba'in" mengenai sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah sesat", merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : "Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak". Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.

Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid'ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu pada shalat Tarawih : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", juga mereka berkata : "Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)", yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya".

Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari'at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu 'anhu : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", maksudnya adalah bid'ah menurut bahasa dan bukan bid'ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan "itu bid'ah" maksudnya adalah bid'ah menurut arti bahasa bukan menurut syari'at, karena bid'ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.

Dan pengumpulan Al-Qur'an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur'an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama'ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu menjadikan mereka satu jama'ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid'ah dalam Ad-Dien.

Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur'an. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur'an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta'ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.


[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

DEFINISI BID’AH (Oleh : Dr. Ibrahim Ruhaily dalam Mauqif Ahlus Sunnah)

 
Para ulama telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini walaupun lafadl-lafadlnya berbeda-beda, menambah kesempurnaannya disamping memiliki kandungan makna yang sama. Termasuk definisi yang terpenting adalah
1. DEFINISI SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata,”Bidah dalam agama adalah perkara wajib maupun sunnah yang tidak Allah dan rasu-Nya syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka diketahui dengan dalil-dalil syriat, dan ia termasuk perkara agama yang Allah syariatkan meskipun masih diperslisihkan oleh para ulama. Apakah sudah dikierjakan pada jaman nabi ataupun belum dikerjakan.

2. DEFINISI IMAM SYATIBI

Beliau berkata,”Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah”.

3. DEFINISI IBNU RAJAB

Ibnu Rajab berkata,”Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki bukti dari syariat maka bukan bidahwalaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa”

4. DEFINISI SUYUTHI

Beliau berkata,”Bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat”.

Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point di bawah ini :

1. Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.

2. Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara husus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-lat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala,”Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi”.Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.

3. Bahwa bidah semuanya tercela.

4. Bahwa bidah dalam agama terkadang menambah dan terkadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah. InsyaAllah.

Inilah definisi-definisi terpenting tentang bidah yang mencakup hukum-hukumnya. Telah nampak dari sisi-sisinya batasan bidah dan jelas pula kaidah-kaidahnya yang benar untuk mendefinisikannya. Adapun cakupan setiap definisi itu bagi hukum-hukum bidah maka berbeda-beda.

Menurut anggapanku definisi bidah yang paling menyeluruh dengan hukum-hukumnya yang membatasi pengertian bidah secara syari dengan batasan yang rinci adalah definisi Imam Syathibi.

Dengan demikian definisi Imam Syathibilah yang terpilih dari definisi-definisi tersebut di atas karena mencakup batasan-batasan yang menyeluruh yang mengeluarkan apa-apa yang tidak termasuk perkara bidah.

Minggu, 13 Mei 2012

IMPLEMENTASI ASAS KEADILAN DAN ASAS PROFESIONALITAS DALAM PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) PADA PT TBK BANK RAKYAT INDONESIA (BRI) .... (Usulan Penelitian)

A.    Latar Belakang Penelitian

Pembangunan nasional yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah merupakan upaya pembangunan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan masyarakat  Indonesia  yang  adil  dan  makmur  berdasarkan  Pancasila  dan Undang Undang  Dasar  Tahun 1945.

Agar bisa mencapai tujuan tersebut, pembangunan harus dilaksanakan  dengan senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan  di berbagai unsur pembangunan, termasuk salah satunya adalah di bidang  ekonomi dan keuangan. Untuk meningkatkan pemerataan pertumbuhan  ekonomi kearah peningkatan kesejahteraan rakyat, maka dibutuhkan suatu  lembaga keuangan yang bisa menunjang dan mendukung hal tersebut, dan  lembaga yang bisa melakukan hal  itu  merupakan  lembaga  perbankan. Hal  ini dikarenakan perbankan bergerak di bidang ekonomi yang secara nyata  berhubungan  langsung  dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam Pasal 1 angka 1 memberikan pengertian dari perbankan yaitu :

segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan  usaha,  serta  cara  dan  proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.”[1]

 

Masyarakat perlu melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya demi meningkatkan kesejahteraannya. Dalam kenyataannya tidak semua masyarakat terutama masyarakat lapisan menengah ke bawah yang memiliki modal yang cukup untuk membuka atau mengembangkan usaha dan produktifitasnya, sehingga dalam hal ini mereka membutuhkan bantuan yang berupa pinjaman atau kredit yang bisa mereka cari, salah satunya di suatu lembaga perbankan. Yang dimaksud dengan kredit di dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah :

penyediaan  uang  atau  tagihan  yang  dapat  dipersamakan  dengan itu,  berdasarkan  persetujuan  atau  kesepakatan  pinjam-meminjam antara  bank dengan  pihak  lain  yang mewajibkan  pihak  peminjam untuk  melunasi  utangnya  setelah  jangka  waktu  tertentu  dengan pemberian bunga.”[2]

 

 Kredit dibutuhkan oleh masyarakat baik oleh perorangan maupun badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya ataupun untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Kegiatan yang menyangkut produktif misalnya masyarakat meminjam kredit di bank untuk memperluas kegiatan usahanya. Sedangkan kebutuhan yang bersifat konsumtif misalnya masyarakat meminjam kredit untuk membeli rumah.

Bank sebagai lembaga keuangan memiliki peran yang strategis bagi kehidupan perekonomian masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari fungsi utama yang dimiliki oleh bank yaitu sebagai lembaga yang menghimpun dan   menyalurkan dana dari masyarakat. Dari fungsi utama bank tersebut maka  bank bisa dikatakan sebagai lembaga intermediasi yaitu lembaga yang     berfungsi sebagai penghubung antara orang yang memiliki uang dan yang membutuhkan uang. Dengan adanya minat dari orang yang memiliki kelebihan uang untuk menyimpan uangnya di bank, maka bank akan bisa mengumpulkan uang atau menghimpun dana dari masyarakat, yang kemudian dana-dana itu akan disalurkan lagi kepada masyarakat lainnya yang membutuhkannya, dalam bentuk kredit. Penghimpunan dana merupakan suatu jasa utama yang ditawarkan dunia perbankan, baik oleh bank umum maupun bank perkreditan rakyat.[3]

Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi, bank harus memegang teguh prinsip kepercayaan dan kehati-hatian. Kedua prinsip ini harus digunakan karena untuk menekan kemungkinan terjadinya resiko dalam melakukan kegiatan perkreditan. Seperti resiko kemungkinan tidak dikembalikannya kredit yang telah diberikan kepada nasabah pencari kredit. Apabila dana yang disalurkan melalui kredit tidak bisa dikembalikan, maka bank bisa menderita kerugian dan apabila bank mengalami pailit atau bangkrut maka simpanan penabung bisa saja tidak dibayarkan kembali.

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia ini, kegiatan bank    terutama dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan bank yang    sangat penting dan utama sehingga pendapatan dari kredit yang berupa bunga merupakan komponen pendapatan yang paling besar dibanding dengan   pendapatan jasa-jasa diluar bunga kredit yang biasa disebut dengan fee base    income”. Berbeda dengan bank-bank di negara-negara yang ada di negara  maju, laporan keuangan menunjukkan bahwa komponen pendapatan bunga dibanding dengan pendapatan jasa perbankan lainnya sudah cukup berimbang.[4]

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dana perbankan yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit bukanlah dana milik banksendiri tetapi merupakan dana yang berasal dari masyarakat, sehingga penyaluran kredit yang akan dilakukan oleh bank kepada nasabahnya, haruslah dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, melalui analisa yang akurat dan mendalam, serta penyalurannya haruslah dilakukan dengan tepat sasaran serta diperlukan adanya pengawasan dan pemantauan yang baik,  perjanjian yang sah dan juga harus memenuhi syarat hukum. Syarat hukum  ini merupakan aspek yang sangat penting yang harus dipenuhi, hal ini dikarenakan walaupun syarat-syarat di luar aspek hukum yang dibutuhkan  untuk pengajuan kredit telah dipenuhi semua tetapi kalau ternyata syarat yang berkaitan dengan aspek hukum  tidak memenuhi  syarat  atau  tidak  sah maka  semua  ikatan  perjanjian dalam  pemberian kredit dapat  gugur sehingga dapat menyulitkan bank untuk menarik kembali kredit yang telah diberikan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perjanjian dan dokumentasi dari pengajuan  kredit haruslah teratur dan lengkap, semuanya ini tentu saja bertujuan agar kredit yang meliputi pinjaman pokok dan bunga yang disalurkan kepada masyarakat tersebut, dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu bank dengan nasabah.

Peran perbankan nasional dalam menghimpun dan terutama dalam menyalurkan dana kepada masyarakat haruslah lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan sektor perekonomian nasional dengan prioritas kepada koperasi, dan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta kepada berbagai lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi, sehingga bila dilakukan dengan baik maka akan memperkuat struktur perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan UMKM dan koperasi merupakan suatu bentuk kegiatan usaha yang paling banyak terdapat di tengah masyarakat.

Tercatat sekitar 48 juta unit usaha kecil menengah (UKM) dengan  anggota 85 juta pelaku usaha. Adapun jumlah  koperasi  tercatat 140.000 unit dengan jumlah anggota 28 juta orang. Sehingga jika bank lebih  memperhatikan dan memberikan kemudahan dalam pemberian kredit kepada UMKM dan koperasi, maka jika usaha ini bisa semakin tumbuh dan berkembang maka pendapatan orang per-orang dari Koperasi dan UMKM juga akan terus meningkat, dan taraf hidup rakyat-pun akan meningkat. Hal  ini tentu akan mengurangi kemiskinan dan tingkat pengangguran di masyarakat, dan bila pengangguran berkurang maka perekonomian  masyarakat akan semakin baik dan tentu saja akan berimbas pada semakin  baiknya perekonomian nasional.

Tetapi meskipun sejak dulu kredit sudah ada, namun yang belum dioptimalkan adalah akses dan kemudahan bagi Koperasi dan UMKM untuk  mendapat kredit.[5] Kredit yang ditawarkan oleh lembaga perbankan, pada umumnya sering mempersyaratkan pihak peminjam (debitur yaitu nasabah) untuk menyerahkan jaminan kepada pihak pemberi pinjaman (kreditur yaitu bank), dengan kata lain bank dalam pemberian kredit lebih berorientasi kepada masalah jaminan.

Namun pada tahun 2007, bekerja sama dengan bank-bank pemerintah seperti PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ....., pemerintah mengeluarkan kebijakan  baru dalam pemberian kredit untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu  dengan adanya program kredit tanpa jaminan yang mana program ini diperkenalkan oleh pemerintah dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR).

KUR ini merupakan nama dari program kredit tanpa jaminan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dengan tujuan untuk menambah modal usaha dari pengusaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta koperasi. Dengan adanya KUR ini, maka orientasi bank dalam pemberian kredit bisa dikatakan sudah berubah, dari yang berorientasi kepada  jaminan (collateral oriented) menjadi tidak lagi berorientasi kepada masalah jaminan (non collateral oriented). Maka dengan adanya kebijakan perkreditan ini, walaupun tanpa menyerahkan suatu jaminan, orang sudah bisa mendapatkan  kredit jenis KUR ini. Jadi didalam kredit ini tidak terdapat penyerahan jaminan dalam bentuk fisik, karena bank telah menggunakan dan menempatkan bonafiditas serta    prospek usaha yang telah dimiliki dan dijalankan oleh nasabah sebagai pengganti jaminan fisik. Sehingga  bisa  dikatakan  untuk mendapatkan kredit tanpa jaminan ini maka nasabah haruslah memiliki  bonafiditas serta prospek usaha yang baik. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah merupakan bentuk kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit jenis ini dan merupakan cara  bank untuk mempercayai nasabah bahwa dengan memiliki usaha yang baik  dirinya bisa mengembalikan kredit yang dipinjamnya dari bank.[6]

Oleh sebab itu, pembahasan kemudian difokuskan kepada peran bank dalam menunjang kegiatan perekonomian masyarakat lapisan menengah kebawah yang bergerak dalam usaha koperasi dan UMKM, yang memperoleh kemudahan dari bank untuk mendapatkan kredit meskipun tanpa jaminan yang dikenal dengan bentuk kredit usaha rakyat (KUR). Bank dalam memberikan kredit tanpa jaminan ini, harus lebih hati-hati dan selektif terhadap setiap debitur yang mengajukan permohonan kredit, karena kredit tanpa jaminan ini lebih mengandung banyak resiko dibanding dengan kredit yang menggunakan jaminan, terutama dalam kaitannya nasabah  tidak bisa mengembalikan kredit yang dipinjamnya dari bank. Sehingga bank harus benar-benar memiliki keyakinan terhadap kemampuan nasabah untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan sebelumnya.

B.     Identifikasi Masalah

1.      Bagaimanakah prosedur pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ...........?

2.      Apakah diimplementasikan asas keadilan dan asas profesionalitas dalam pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ...............?

 

C.    Tujuan Penelitian

Penetapan tujuan yang tepat, demikian menurut pandangan Jack Canfield,[7] merupakan salah satu prinsip terpenting untuk sukses. Penulis sepakat dengan Jack Canfield, bahwa dengan tujuan yang jelas akan memudahkan untuk menentukan langkah-langkah yang selayaknya dilakukan. Demikian halnya dengan penelitian yang terdapat dalam skripsi ini. Tujuan yang hendak dipaki oleh penulis dalam penelitian ini berkaitan dengan fokus kajian yang telah ditetapkan dalam identifikasi masalah di atas.

Sesuai dengan itu, maka tujuan penelitian yang hendak penulis capai yaitu :

1.      Untuk mengetahui prosedur pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ..............

2.      Untuk mengetahui implementasi asas keadilan dan asas profesionalitas dalam pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ...............

 

D.    Manfaat Penelitian

Manfaat  yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1.      Manfaat teoritis, hasil penelitian ini akan dapat memberikan. sumbangan bagi ilmu pengetahuan hukum perdata terutama dalam bidang perbankan.

2.      Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mencari solusi-solusi terhadap kendala yang dihadapi dalam bidang perbankan khususnya masalah kredit.

 

E.     Metode Penelitian

Metodologi yang dipergunakan adalah :

1.      Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan secara umum fakta-fakta yang ditemukan termasuk ketentuan-ketentuan hukum in abstraco.[8] Kemudian dianalisis, berdasarkan teori-teori hukum dan praktik hubungan hukum antara pemerintah, bank, nasabah.

2.      Spesifikasi Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai dalam pembahasan skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah pendekatan terhadap suatu masalah yang menitik beratkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, dimana penulis melakukan penyelidikan terhadap Undang-undang tentang Perbankan serta Undang-undang yang terkait dengan permasalahan ini.[9]

3.      Tahap penelitian dilakukan dengan dua cara, yaiu :

a.       Penelitian kepustakaan yaitu kegiatan mencari data dan dilakukan dengan cara mempelajari serta mengkaji peraturan perundang-undangan dan relevansinya dan buku-buku referensi.

b.      Penelitian lapangan yaitu dilakukan secara langsung ke lapangan di tempat permasalahan yaitu PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ...............

4.      Teknik Pengumpulan Data

a.       Studi Dokumentasi dilakukan melalui penelusuran dokumen-dokumen guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat para ahli atau informasi dari pihak yang berwenang.

b.      Observasi Lapangan dilakukan dengan cara mencari data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan.

 

 

5.      Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui penelusuran terhadap data yang telah dikumpulkan baik data sekunder maupun data primer, kemudian data tersebut diberikan kualifikasi atau digolongkan sebagai suatu peristiwa hukum. Data utama dari penelitian tersebut adalah data sekunder  berupa bahan hukum primer dalam bentuk kredit perbankan. Data tersebut kemudian diolah, dibandingkan, dikaji, serta dianalisis, diuraikan melalui penafsiran-penafsiran secara kualitatif sehingga hasilnya dapat diuraikan  menjadi suatu hal yang ditemukan dalam pembahasan masalah. Data lapangan hanya sebagai penunjang atau pelengkap data sekunder.

6.      Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ................

 

F.     Kerangka Pemikiran

Untuk memperbaiki perekonomian nasional maka harus dimulai dengan perbaikan perekonomian daerah. Upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan perekonomian daerah salah satunya adalah memberikan akses dan jalan yang mudah bagi  koperasi serta UMKM  yang banyak terdapat di dalam masyarakat untuk mengembangkan usahanya dengan pemberian tambahan modal, yang dalam hal ini perbankan sebagai lembaga penyedia modal keuangan sangat dibutuhkan peranannya yaitu dalam hal pemberian kredit. Bank dalam memberikan kredit kepada masyarakat bisa menggunakan dua cara yaitu kredit dengan menggunakan jaminan maupun kredit tanpa menggunakan jaminan. Untuk kredit yang menggunakan jaminan tentu memiliki sedikit resiko karena jaminan yang telah diserahkan oleh debitur kepada kreditur dapat dicairkan (dijual) apabila debitur cidera janji yaitu tidak  dapat melunasi kredit yang dipinjamnya atau mengalami kredit macet. Sehingga dengan adanya  jaminan maka diharapkan kerugian dari bank akibat terjadinya kredit macet dapat diminimalkan.[10]

Sedang untuk kredit yang tanpa jaminan dengan sendirinya tentu memiliki lebih banyak resiko. Sehingga dalam hal ini bank dituntut untuk lebih memperhatikan dengan seksama terhadap kemampuan dari debitur   yang mengajukan kredit tanpa jaminan seperti dalam hal kemampuan untuk  mengembalikan kredit yang telah diterimanya dari bank. BRI sebagai bank  pemerintah merupakan salah satu lembaga perbankan yang menyalurkan kredit tanpa jaminan ini. Kredit yang diluncurkan sekitar tahun 2007 ini, yang diperkenalkan dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR), direncanakan oleh pemerintah akan dapat membantu perkembangan dari usaha masyarakat yang selama ini kekurangan dan sulit mendapatkan modal dari perbankan, serta      dengan adanya kredit tanpa jaminan ini telah menunjukkan keseriusan dari pemerintah akan usahanya untuk membantu pengusaha kecil dan menengah serta koperasi.

Kredit tanpa jaminan ini memang sengaja diarahkan kepada UMKM  dan koperasi karena selama ini merekalah para pengusaha yang membutuhkan  tambahan modal tetap bila ingin mengajukan kredit ke bank selalu terhadang  banyak kendala seperti prosedur yang berbelit-belit dan tentu saja masalah  jaminan. Sehingga untuk mencegah mereka mencari tambahan modal pada  pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti rentenir yang memberikan   bunga yang begitu besar, maka kredit tanpa jaminan ini dirancang  memberikan kemudahan dengan bunga pinjaman yang kecil, tidak berbelit-belit dan tanpa menggunakan jaminan apapun, karena diharapkan dengan  adanya  kredit  ini  kebutuhan masyarakat  terhadap modal bisa terpenuhi dan tidak memberatkan masyarakat, sehingga masyarakat dapat lebih bersemangat  mengembangkan usahanya dengan meminta bantuan ke bank untuk mendapatkan kredit tanpa jaminan ini.

Untuk mendapatkan kredit tanpa jaminan maka nasabah (debitur) yang mengajukan kredit harus memenuhi dan mengikuti prosedur yang telah ditentukan oleh bank pemberi kredit yang  dalam penelitian ini adalah bank BRI. Semua syarat yang diajukan oleh bank haruslah dipenuhi karena semua ini berkaitan dengan upaya untuk memberikan keyakinan kepada kreditur (bank) bahwa debitur mampu mengembalikan kredit sesuai dengan perjanjian dan tidak akan sampai terjadi kredit macet. Sehingga dalam hal ini perjanjian juga haruslah dibuat dengan seksama dan sesuai dengan isi Pasal 1320      KUH Perdata tentang syarat syahnya perjanjian. Dimana untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu : 

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan  untuk membuat  suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.”[11]

 

Dalam proses pemberian kredit, khususnya Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ..................pegawai bank yang menangani permasalahan kredit harus bisa mengimplementasikan asas keadilan dan asas profesionalitas dalam memberikan kredit pada debitur.

   

G.    Sistematika Penulisan

BAB I. PENDAHULUAN

........................

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG BANK DAN KREDIT BANK

.........................

BAB III. PROSEDUR PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) PADA PT TBK BANK RAKYAT INDONESIA (BRI) ...............

...................

BAB IV. IMPLEMENTASI ASAS KEADILAN DAN ASAS PROFESIONALITAS DALAM PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) PADA PT TBK BANK RAKYAT INDONESIA (BRI) ..................

....................

BAB. V SIMPULAN DAN SARAN

.......................

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka.

Lampiran

Lampiran.

H. Daftar Pustaka

 

Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, Pradya Paramita, Jakarta, 1995.

Harun, Badriyah, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2010.

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Lubis, Suhrawardi, K, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Medan, 1993.

Muhammad, Abdulkadir dan Murniaty, Rilda, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2006.

Rachmadi, Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Sutarno, Aspek-Aspek  Hukum  Perkreditan  Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003.

Sudikno, Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, 1996.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, 1986.

Sinungan, Muchdarsyah, Dasar-dasar Teknik Manajemen Kredit, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Setiawan, R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung, 1977.

Supramono, Gatot, Perbankan dan Maslah Kredit, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.

Sutedi, Adrian, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Sutojo, Siswanto, Analisa Kredit Bank Umum, Pustaka Binaman Presindo, Jakarta, 1995.

Suyanto, Thomas, at al, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.

Sudarsono, Kamus Hukum, Bineka Cipta, Jakarta, 2005.

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Kencana, Jakarta, 2009.

Tje’Aman, Putra, Edy, Mgs, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan  Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989.

Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Wijaya, Faried, Perkreditan dan Bank, BPFE, Yogyakarta, 1991.

Undang Undang Dasar Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.


[1] Vide, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

[2] Vide, Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

[3] Usman Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm 221

[4] Sutarno, Aspek-Aspek  Hukum  Perkreditan  Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hlm 5

[5] Suhartono, Presiden: Koperasi dan UKM, Cara Cepat Atasi Kemiskinan, Kompas, 5 November 

2007, hlm 1

[6] Mgs Edy Putra Tje’Aman, Kredit  Perbankan  Suatu  Tinjauan  Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm 12

[7] Jack Canfield, The Succes Principles, Gramedia, Jakarta, 2006, hlm 37

[8] Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, 1996

[9] Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, 1986, hlm 44

[10] M. Bahsan, Hukum  jaminan  dan  Jaminan Kredit Perbankan  Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 4

[11] Vide, Pasal 1320  KUH Perdata