A. Pendahuluan
Indonesia
merupakan salah satu Negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari
semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman
seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok
masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.
Perkawinan
merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama,
kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan
negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan
mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh Negara. Di sini, negara
berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin
kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam
berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran. perkawinan sejenis, kawin
kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang
berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali
berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga
menyebabkan perkawinan beda agama.
Hal
ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.
Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan
dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan
tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama
untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang
dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum
lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau
hidup tanpa pasangan yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya
perkawinan beda agama.
Biasanya,
untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima
dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut
berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya
pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut. Meski demikian, di
tengah-tengah masyarakat, pro dan kontra pendapat terjadi sehubungan dengan
perkawinan beda agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama
merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri sehingga negara tidak perlu melakukan
pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang
berpendapat bahwa perkawinan beda agama dilarang oleh agama sehingga tidak
dapat diterima.
B. Keabsahan Kawin Beda Agama di Indonesia Berdasarkan Pandangan Hukum Nasional dan Hukum Islam
1. Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam
konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan
keperdataan saja. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang terhadap
upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang hanya
mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang
pegawai catatan sipil. Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan,
hanya dibutuhkan dua macam syarat, yaitu :
Syarat
materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya.
Syarat ini meliputi :
a.
Syarat materil mutlak
yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus
diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya.
Syarat itu
meliputi:
Monogami, bahwa
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUHPerdata).
Persetujuan dari
calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).
Interval 300
hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin kawin kembali (Pasal 34
KUHPerdata).
Harus ada izin
dari orangtua atau wali bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin
(Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata.
b. Syarat
materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk
kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas:
1) Larangan
kawin dengan keluarga sedarah
2) Larangan
kawin karena zinah
3) Larangan
kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah
adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.
c. Syarat
formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan
mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 – 51 KUHperdata).
2. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Undang-undang
Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan
tidak berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 Undang-undang
Perkawinan. Menurut Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, perkawinan adalah sebuah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari
pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah
perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2
Undang-undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah
perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini
pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.
Pasal
6 Undang-undnag Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan
perkawinan, yaitu:
a.
Perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b.
Bila calon mempelai
belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin kedua orangtua atau
salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya.
Apabila
keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
c.
Dalam hal ada perbedaan
pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
d.
Ketentuan di atas tidak
bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya
yang bersangkutan.
Sementara,
untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) hanya prinsipnya hanya melarang
terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan
sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh agamanya
atau peraturan lain. Undang-undang Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya
dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama. Aspek
agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya
menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut Undang-undnag
Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya
dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur
agama, perkawinan dianggap tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan
hanya memperhatikan unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau
mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.
Hukum
Islam Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, turut menunjang
terbentuknya hukum perkawinan Islam. Dan di dalam hukum tersebut terdapat
aturan-taruran yang menyangkut kawin beda agama. Fatwa MUI Tentang Kawin Beda
Agama Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/Munas VII/MUI/8/2005
tentang Perkawinan Beda Agama. Berdasarkan beberapa pertimbangan yang sering
terjadi di Indonesia tentang perkawinan beda agama, MUI membuat analisis
tentang pengaruh kawin beda agama bagi pasangan dan masyarakat maka MUI membuat
fatwa berdasarkan Al-Qur’an, Hadist dan Kaidah Fiqh. Dan menghasilkan suatu kesimpulan,
yaitu :
1)
Perkawinan beda agama
adalah haram dan tidak sah.
2)
Perkawinan laki-laki
muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut
qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah. Adapun dalil-dalil yang menguatkan
fatwa MUI itu adalah sebagai berikut :
Firman Allah SWT
:
Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawini-nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. al-Nisa
[4] : 3);
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS.
al-Rum [3] : 21);
Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. al- Tahrim [66]:6 );
Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang merugi. (QS. al-Maidah [5] : 5);
Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS.
al-Baqarah [2] : 221)
Hai orang-orang
yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Alllah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka jangalah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya
diantara kamu. Dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana (QS. al-Mumtahianah
[60] : 10).
Dan barang siapa
diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, Ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu
adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizing
tuan mereka dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun
wanita-wanita yang memelihara diri bukan pezina dan bukan (pula) wanita-wanita
yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji
(zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka
yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang
takut pada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan
kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengamun dan Maha Penyayang.
(QS. al-Nisa [4] : 25).
Dalam agama
Islam, terdapat dua aliran yang memberikan pandangan mengenai hal ini. Aliran
yang pertama menyatakan bahwa dimungkinkan adanya perkawinan beda agama. Hanya
saja hal ini dapat dilakukan jika pihak pria beragama Islam, sementara pihak
perempuan beragama non Islam (Al Maidah(5):5). Jika kemudian kondisinya
sebaliknya, maka menurut aliran ini, perkawinan beda agama tidak dapat
dilakukan (Al Baqarah (2):221),. Di sisi yang lain, aliran yang satunya lagi
menyatakan bahwa dalam agama Islam, apapun kondisinya, perkawinan beda agama
tidak dapat dilakukan (Al-Baqarah [2]:221).
C. Penutup
Dari
pembahasan di atas dapat ditarik suatu simpulan bahwasannya keabsahan
perkawinan beda agama adalah tidak syah menurut hukum Islam, hal ini dikuatkan
dengan beberapa dalil naqli yaitu firman Allah SWT dalam Al-Qur’an . (QS.
al-Nisa [4] : 3), (QS. al-Rum [3] : 21), (QS. al- Tahrim [66]:6 ), (QS.
al-Maidah [5] : 5), (QS. al-Baqarah [2] : 221), (QS. al-Mumtahianah [60] : 10), (QS. al-Nisa [4] : 25), (Al Maidah(5):5), (Al
Baqarah (2):221), (Al-Baqarah [2]:221).
Daftar Rujukan/Pustaka
§ Abdulkadir,
Muhamad. 2000. Hukum Perdata Indonasia
. Bandung. PT.Citra Aditya Bakti.
§ UU
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
§ Tafsir
Al-Qur,an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar