A. Pendahuluan
Penegakan
supremasi hukum merupakan salah satu agenda reformasi yang sudah 10 tahun berjalan. Apakah penegakan supremasi hukum yang diharapkan oleh masyarakat itu
telah tercapai ? Untuk menjawab pertanyaan ini, masyarakat mungkin memiliki
tanggapan yang beragam. Ada yang menjawab belum, lebih buruk, ada sedikit
kemajuan, atau mungkin ada juga yang menilai sudah lebih baik. Masing-masing
jawaban tersebut merupakan out put dari kinerja aparat penegak hukum yang
langsung dirasakan oleh setiap anggota masyarakat dalam aktivitas sehari-hari
yang berkaitan dengan hukum. Misalnya saat razia kendaraan, pembuatan SIM,
pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan, sidang pengadilan dan lain-lain. Artinya
penilaian terhadap ada tidaknya reformasi hukum, salah satu indikatornya dapat
dilihat dari penilaian setiap orang ketika ia terlibat aktivitas hukum yang
tentunya melibatkan aparat penegak hukum. Apabila dalam aktivitas hukum
tersebut justru keluar dari jalur hukum, seperti adanya suap menyuap, pungli,
tebang pilih, atau KUHP yang dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara, dan
lain-lain, maka tidak salah apabila penilaian negatif diberikan terhadap
kinerja aparat penegakan hukum. Padahal yang melakukannya hanyalah oknum
tertentu saja dari sekian banyak aparat penegak hukum, namun berakibat pada
citra buruk aparat penegak hukum secara keseluruhan.
Pada
beberapa kasus kejahatan, seperti illegal logging, peredaran narkoba, dan
terakhir kasus perjudian, ada yang dilindungi, bahkan dimiliki langsung oleh
oknum aparat penegak hukum. Kemudian adanya dugaan suap dari tersangka atau
terdakwa, yang diterima atau malah diminta oknum penegak hukum agar perkaranya
tidak diperiksa atau dapat segera ditutup. Dalam sidang ada sepatu terdakwa
yang melayang ke meja Hakim atau Jaksa. Adanya pengerahan massa di pengadilan
karena keputusan hakim yang dinilai tidak adil, dan terungkapnya komunikasi
Artalyta dengan petinggi Kejaksaan Agung, bahkan juga diduga menyeret oknum
hakim di Mahkamah Agung. Kesemunya itu merupakan indikasi adanya mafia peradilan
dan semakin turunnya kualitas dalam upaya reformasi hukum.
B. Konsep Etika Profesi Hukum
Ada fenomena menarik yang patut
dicatat dalam perkembangan dunia hukum di Indonesia belakangan ini. Bangkitnya
kembali organisasi-organisasi keprofesian hukum, serta sorotan masyarakat
(baca: tekanan) terhadap peran lembaga peradilan, adalah fenomena yang penulis
maksudkan.
Tentu, fenomena tersebut hanya
merupakan beberapa tanda saja dari telah adanya proses perubahan cara pandang
masyarakat terhadap institusi hukum. Dia belumlah menjelaskan proses perubahan
itu sendiri, dan pada akhirnya belumlah berarti apa-apa untuk dapat merumuskan
sebuah konsep ideal bagi etika profesi hukum. Guru besar kriminologi dari
Universitas Indonesia, Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, misalnya, berpendapat
bahwa hukum telah mengalami degradasi nilai, sehingga fungsi hukum tidak lain
dari alat kejahatan, atau dalam bahasa beliau ‘law as a tool of crime’ (Semu,
Kepastian Hukum di Indonesia, Kompas, 26 November 2005).
Tapi apa yang bisa kita dapatkan
dari informasi tersebut selain sekedar sebuah peringatan siaga belaka?
Haruskah, kemudian, kita hapuskan saja institusi hukum, karena keberadaan
dirinya telah membatalkan fungsinya sendiri (contradictio in terminis)?
Akankah terjawab bagaimana semestinya konsep ideal bagi etika profesi hukum?
Untuk mencegah pemikiran yang hanya akan membawa kita pada sikap apatis dan
pesimis dalam menghadapi kekusutan arah dan tujuan sistem hukum kita, maka
perlu ada usaha untuk menguraikan permasalahan tersebut lebih lanjut lagi. Ini
memang bukan hal yang mudah, namun bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Untuk itu, dalam tulisan ini
pertama-tama penulis akan mencoba untuk mencari penjelas (roots) dari
adanya proses perubahan cara pandang masyarakat terhadap institusi hukum di
Indonesia. Selanjutnya, penulis juga akan mencoba menuliskan kembali beberapa
konsep mengenai etika profesi hukum. Konsep-konsep tersebut memang penulis
dapatkan dari penulis-penulis dengan latar belakang di luar masyarakat
Indonesia. Meski begitu, bukan berarti tidak ada relevansinya dengan masalah
yang sedang kita hadapi di Indonesia. Proses perubahan masyarakat yang terjadi
saat ini, dan mungkin juga di masa yang akan datang, tidak bisa dipisahkan dari
adanya proses globalisasi, proses lintas batas. Pengaruh MTV di Belanda
terhadap gaya hidup anak mudanya, misalnya, tidak beda dengan pengaruh MTV di
Indonesia terhadap gaya hidup anak muda setempat. Memang, karakter lokal
bukannya tidak memegang peran penting.
Justru kondisi masyarakat
setempatlah yang nantinya akan menentukan konsep yang paling ideal bagi
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pula, penulis akan memulai tulisan ini
dengan mencari penjelas (roots) dulu, sebelum sampai pada tahap
pemaparan konsep (routes). Sedikit refleksi akan kondisi kita saat ini
akan penulis jadikan penutup dari tulisan ini.
1. Modernisasi
Pasca Reformasi
Modernisasi mesti dimengerti sebagai
sebuah proses. Sebagai sebuah proses, dengan sendirinya modernisasi bukanlah
suatu bentuk atau tatanan yang tetap. Dengan begitu, cara terbaik untuk dapat
memahami modernisasi adalah dengan memahami proses itu sendiri, dan bukan
sekedar akibatnya (masyarakat ‘modern’). Membatasi modernisasi hanya pada
sebuah bentuk masyarakat ‘modern’ hanya akan membawa pengingkaran pada proses
tersebut. Karena, dalam sebuah proses pada prinsipnya semua dapat berubah,
kecuali perubahan itu sendiri. Modernisasi pada satu masyarakat, dapat saja
berbeda dengan modernisasi pada masyarakat yang lain. Pada akhirnya kondisi
masyarakat bersangkutan sendirilah yang akan menentukan.
Gambaran modernisasi dari sudut
pandang sosiologis yang cukup terkenal disampaikan oleh filosof Jerman Max
Weber (1864-1920). Menurutnya, modernisasi adalah sebuah proses sekularisasi,
rasionalisasi dan ‘desakralisasi’ (demystification). Sebelumnya, perlu
penulis tegaskan bahwa penulis di sini hanya akan membatasi gambaran terjadinya
proses tersebut dalam ranah hukum saja. Analisa Weber sendiri adalah analisa
menyeluruh pada semua aspek sosial, sedang hukum hanya satu bagian saja dari
sebuah sistem sosial.
Sebuah tindakan sosial, menurut
Weber, tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan
dicapai oleh pelaku. Tindakan sosial dapat dipisahkan menjadi empat macam
tindakan menurut motifnya:
a. tindakan untuk mencapai satu tujuan
tertentu,
b. tindakan berdasar atas adanya satu
nilai tertentu,
c. tindakan emosional, serta
d. tindakan yang didasarkan pada adat
kebiasaan (tradisi).
Pada
awal abad 20 atau pasca revolusi industri di Eropa Barat, Weber melihat bahwa
tindakan untuk mencapai satu tujuan tertentulah yang mengemuka. Apa artinya
bagi jati diri hukum? Artinya, hukum ‘klasik’ yang dibangun berdasar atas
adanya asas-asas dan doktrin-doktrin hukum (baca: nilai-nilai tertentu) yang
terkandung di dalam undang-undang akan berubah menuju hukum ‘modern’ yang
dibangun dari adanya tarik ulur kepentingan-kepentingan (baca: tujuan-tujuan)
yang ingin dicapai setiap elemen masyarakat.
Telah
terjadi pergeseran pondasi dari suatu nilai yang tak terbantahkan, menuju
pondasi yang lebih supel dan fleksibel. Pondasi yang dapat selalu ditawar dan
dirundingkan berdasar atas kebutuhan atau kepentingan dari (elemen) masyarakat
pada suatu ruang dan waktu tertentu. Masing-masing elemen masyarakat berusaha
meraih kepentingannya, sedang hukum adalah alat untuk mencapainya. Asas-asas
serta doktrin-doktrin hukum, baru diterima jika memang itu rasional dan
sistematik. Akibatnya, keberadaan institusi hukum yang tadinya dibangun atas
dasar kewibawaan yang sakral mesti mampu pula melandaskan kepercayaan
masyarakat yang diembannya pada suatu dasar yang rasional.
Pendeknya,
institusi hukum tidak lagi dapat bertahan pada landasan sakralnya dan mau tak
mau telah menjadi bagian dari dinamika masyarakat itu sendiri.
Modernisasi
yang digambarkan oleh Max Weber di atas tadi, telah terjadi di dalam masyarakat
Eropa Barat sejak awal abad 20 sebagai reaksi atas terjadinya revolusi industri
yang memang meletakkan titik berat pada efisiensi sebagai usaha optimalisasi
produksi. Lalu, mengapa modernisasi ala Weber tadi berusaha penulis hubungkan
dengan kondisi Indonesia pasca reformasi yang notabene terjadi satu abad
sesudah analisa itu sendiri dikemukakan? Mesti pembaca maklumi, bahwa usia
demokrasi di Indonesia masihlah muda.
Proses
rasionalisasi telah tersumbat puluhan tahun lamanya, meski mungkin metode
berpikir rasional bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Keberadaan
institusi hukum di Indonesia, dengan segala carut marutnya, telah ‘tersembunyi’
dengan rapi di balik wibawa rezim-rezim yang sebelumnya pernah berkuasa di
Indonesia. Institusi hukum di masa Orde Baru, misalnya, sudah memiliki satu cetak
biru yang jelas. Keberpihakan hukum adalah pada penguasa. Artinya, wibawa hukum
dijamin dengan wibawa kekuasaan. Hukum adalah sebuah institusi yang pada
dasarnya tidak terjamah oleh proses rasionalisasi dan ‘desakralisasi’. Dengan
adanya proses demokratisasi yang terjadi pasca reformasi, sedikit banyak telah
terjadi perubahan cara pandang terhadap institusi hukum tersebut.
Benarkah
telah mulai terjadi modernisasi atau dengan kata lain terjadi perubahan seperti
disebutkan di atas? Tentu, perubahan itu tentu saja ada. Masalahnya, seberapa
besar perubahan itu telah terjadi. Perubahan itu sendiri hanya bisa dikenali
dari gejala-gejalanya. Seperti kita ketahui bersama, lembaga peradilan di
Indonesia bukan lagi wilayah yang tidak terjamah. Beberapa waktu belakangan
ini, selain dengan KPK, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, MA, mesti
berurusan pula dengan KY. Integritas para hakim agung juga mulai ikut
dipertanyakan. Selain itu, perdebatan mengenai nilai-nilai yang terkandung
dalam undang-undang juga sudah mulai lebih ‘memasyarakat’. Di situs web
hukumonline, misalnya, mulai bisa kita temukan tulisan-tulisan kritis yang
mulai mempertanyakan kesahihan isi produk-produk (rencana) perundangan yang ada
atau bahkan kritik atas putusan dari lembaga peradilan.
Tidak
jarang pula kritik-kritik tersebut, berangkat dari pemikiran advokat yang
(pernah) mewakili kepentingan kliennya di pengadilan. Menurut pendapat penulis,
fenomena tersebut adalah suatu fenomena yang menggairahkan bagi perkembangan
dunia hukum di Indonesia, mengingat dengan proses rasionalisasi dan
‘desakralisasi’ ini posisi hukum di dalam masyarakat akan semakin jelas. Hukum
sebagai alat pencari keadilan bisa menjadi bukan merupakan slogan kosong
belaka. Perhatian atas masa depan hukum, akan jauh lebih baik dari sikap apatis
yang tidak akan membawa kita ke mana-mana. Meski begitu, mesti diingat pula
bahwa kondisi tersebut bukannya tidak mengandung resiko.
Seperti
telah penulis kemukakan di muka, modernisasi ini telah mengundang kegerahan
seorang guru besar kriminologi yang menyebut fenomena perkembangan hukum di
Indonesia sebagai ‘law as a tool of crime’. Hukum yang berfungsi sebagai
alat kejahatan. Beliau bahkan berpendapat: “Proses hukum menjadi ajang
beradu teknik dan keterampilan. Siapa yang lebih pandai menggunakan hukum akan
keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun
konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga
kliennya meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan.” Pertanyaannya adalah:
apakah tindakan itu salah? Salahkah bagi seorang advokat menggunakan
pengetahuan hukumnya sebagai alat untuk memenangkan kliennya? Sayangnya
ilustrasi yang beliau berikan tentang permasalahan di dalam hukum kontrak
tersebut tidaklah konkrit, sehingga dengan informasi tersebut tidaklah cukup
untuk menimbang benar tidaknya tindakan si advokat yang dimaksud. Namun begitu,
memang mesti diakui bahwa bukan tidak mungkin dengan kondisi hukum yang telah
‘memasyarakat’ ini, pendekatan-pendekatan pragmatis yang mungkin bertentangan
dengan asas-asas dan doktrin-doktrin hukum akan digunakan oleh advokat untuk
memenangkan kliennya. Bahkan, kalau kita jeli memperhatikan, cara pikir
pragmatis seperti ini terjadi juga di tingkatan pembuat kebijakan. Beberapa
waktu yang lalu, misalnya, terdengar usulan dari seorang anggota dewan untuk
memberlakukan pembedaan tarif pembuatan paspor untuk mencegah korupsi di
Imigrasi (DPR Usulkan Paspor Beda Tarif, detikcom, 18 Januari 2006).
Alasannya adalah karena dengan begitu proses pembuatan paspor akan lebih
efisien. Meski begitu, sudahkah dipikirkan bagaimana dampaknya pada asas
perlakuan sama terhadap seluruh warga negara di depan hukum? Bukankah menurut
konstitusi kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan adalah sama?
Mengapa ini bisa terjadi? Bagaimana semestinya seorang profesional hukum atau
pengambil kebijakan bertindak? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini seobyektif
mungkin, maka mau tak mau harus kita tengok kembali konsep-konsep etika profesi
hukum yang melandasi tindakan profesional hukum tersebut.
2. Dua
Konsep Etika Profesi
Ada dua konsep etika profesi hukum
yang saat ini cukup mendominasi dalam menghadapi modernisasi atau proses
pergeseran dari hukum ‘klasik’ menuju hukum ‘modern’ seperti telah penulis
ungkapkan di atas tadi. Kebetulan, dua konsep tersebut lahir dari ahli-ahli
teori hukum di Amerika. Meski begitu, bukan berarti dua konsep ini memiliki
pandangan yang sejalan. Justru sebaliknya. Masing-masing konsep dimaksud justru
telah memilih dua kutub berseberangan dalam menghadapi modernisasi.
Konsep yang pertama adalah konsep
yang diutarakan oleh Anthony Kronman dalam bukunya The Lost Lawyer
(1993). Kronman menggambarkan seorang profesional hukum yang ideal sebagai
seorang lawyer statesman. Profesional hukum tersebut harus memiliki tiga
elemen pokok berikut ini: kecakapan teknis yuridis, sifat yang terpuji, serta
kebijaksanaan yang membumi (phronesis). Dilihat dari karakter-karakter
tersebut, profesional hukum yang ideal di mata Kronman, tak lain dari
profesional hukum yang lahir di tengah budaya hukum ‘klasik’. Memang itu yang
dimaksudkan Kronman, yaitu nostalgia pada figur phronimos atau ‘sang
bijak’ ala Aristoteles. Masalahnya, saat ini kita telah mulai menuju ke arah
pembentukan budaya hukum ‘modern’. Bukankah ini merupakan pengingkaran dari
proses perubahan masyarakat itu sendiri? Akibatnya apa? Seperti kritik William
Twining dalam Law In Context, Enlarging a Discipline (1997), konsep
tersebut akan membawa profesi hukum kembali pada paternalisme dan elitisme.
Bukankah akibat dari adanya modernisasi profesional hukum justru dituntut untuk
mampu membuktikan bahwa dirinya patut dipercaya? Di sisi lain, bukankah artinya
kepercayaan ini tidak bisa begitu saja diberikan, hanya karena dan oleh karena,
profesional hukum tersebut adalah ‘sang bijak’ itu tadi? Jika memang hakim
sudah pasti bijaksana, tentu tidak akan ada keraguan yang mempertanyakan
integritas para hakim agung seperti yang telah terjadi di Indonesia saat ini.
Bukankah hakim agung adalah seorang hakim yang merunut arti katanya adalah
‘sang bijak’ itu tadi?
Selanjutnya, di kutub sebaliknya,
Richard A. Posner justru menyambut proses pergeseran budaya hukum ‘klasik’ ke
budaya hukum ‘modern’ ini dengan positif. Proses perubahan tersebut bukanlah
sebuah kemunduran budaya, namun justru dasar bagi berkembangnya suatu budaya
hukum baru. Menurut Posner, profesi hukum tak lain dari sebuah kartel atau
sindikat yang berusaha melindungi anggotanya dari pengaruh eksternal, yaitu
pengaruh pasar dan regulasi pemerintah, serta pengaruh internal, yaitu
persaingan antar sesama mereka. Seorang profesional hukum yang ideal adalah
seorang sociaal engineer. Dia harus lebih terorientasi pada penelitian
empiris, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pada umumnya, serta harus lepas dari
kemampuan yuridis ‘klasik’ yang menitikberatkan pada interpretasi teks dan
argumentasi praktis. Hukum di mata Posner adalah suatu bidang ilmu yang otonom.
Masalahnya, hal tersebut juga membawa konsekuensi bahwa hukum harus memiliki
satu landasan baru, karena dia akan lepas dari asas-asas serta doktrin-doktrin
moral yang menjadi penyangganya. Untuk hal ini, Posner kemudian meletakkan
ekonomi sebagai dasar baru bagi hukum. Baik tidaknya suatu tindakan, akan
dianalisa dengan prinsip ekonomi, dengan kata lain, nilai kebaikan hanya diukur
dengan pendekatan material. Pandangan tersebut tentu saja kontroversial,
mengingat dengan begitu Posner telah menegasikan muatan politik dan moral yang
terkandung di dalam hukum. Bukankah hukum juga merupakan sarana untuk
menjembatani proses perubahan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain?
Hukum harus melek sejarah, dalam arti tidak bisa mengesampingkan interpretasi
teks dan sejarah lahirnya teks, serta tidak akan hanya bisa didasarkan pada
instrumen-instrumen rasionalitas belaka. Kritik tersebut di antaranya datang
dari ahli-ahli teori hukum Belanda, A.M. Hol dan M.A. Loth, dalam sebuah
artikel mereka yang berjudul Iudex mediator; naar een herwardering van de
juridische professie (2001). Pendeknya, menurut Hol dan Loth konsep Posner
ini miskin nilai-nilai moral dan hanya akan membawa kita pada pragmatisme.
Setelah melihat dua konsep ideal
tersebut, tentu kita berpikir bahwa modernisasi telah membawa kita pada satu
kondisi yang dilematis. Ibarat makan buah simalakama, apabila kita ikuti konsep
nostalgia Kronman, telah terbukti bahwa ‘sang bijak’ belum tentu bijak, sedang
apabila kita ikuti konsep teknokrasi Posner kita akan jatuh ke dalam
pragmatisme yang bukan tidak mungkin membuat hukum rimba kembali berlaku
(mungkin bukan lagi berupa kekuatan okol atau kekuasaan, namun berupa kekuatan
kapital). Tentu ini bukan pilihan mudah. Untungnya, di samping mengkritik, Hol
dan Loth juga memberikan konsep jalan tengah. Menurut hemat penulis konsep ini
merupakan konsep jalan ke tiga atau konsep ‘postmodernisme’.
3. Konsep
Jalan Ke Tiga
Meminjam pendapat Gus Dur dalam
artikelnya berjudul Budaya Kita di Masa Peralihan (22 Juni 2004),
penulis akan mencoba menuliskan kembali dasar pemikiran yang cukup dikenal
dalam tradisi Nahdlatul Ulama: “Al-muhafazhatu ’ala al-qadim al-shalih wa
al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” (Tetap menggunakan hal-hal lama yang
baik, dan hanya menggunakan hal-hal baru yang lebih baik). Begitulah kurang
lebih gambaran dasar berpikir konsep jalan ke tiga yang ditawarkan oleh Hol dan
Loth di mata penulis. Pergeseran dari hukum ‘klasik’ ke hukum ‘modern’ memang
telah terjadi, namun bukan berarti perubahan itu kita tolak mentah-mentah atau
justru kita ikuti dengan membuta. Hukum ‘klasik’, bagaimanapun rentannya, telah
meninggalkan asas-asas serta doktrin-doktrin hukum yang akan menyangga
berdirinya institusi hukum. Meski begitu, berdirinya institusi tersebut tidak
lagi hanya bisa didasarkan pada kharisma atau wibawa profesional hukumnya saja.
Lebih dari itu, institusi tersebut harus merupakan sebuah instrumen keadilan
yang memang dapat menjadi cerminan dari nilai keadilan yang hidup di
masyarakat. Namun, bukankah modernisasi telah membawa kita pada situasi di mana
setiap elemen di dalam masyarakat memiliki standar keadilan sendiri-sendiri,
sesuai dengan kepentingan dan keinginan mereka masing-masing?
Untuk itu Hol dan Loth meminjam
konsep keadilan prosedural ala John Rawls dalam A Theory of Justice
(1973) sebagai sebuah alternatif dalam menghadapi era perubahan ini. Keadilan
prosedural tersebut meletakkan titik berat pada proses lahirnya keadilan, bukan
pada keadilan yang dihasilkan. Ini tentu saja logis, mengingat perubahan
masyarakat tentu akan membawa perubahan pada cara pandang masyarakat terhadap
suatu masalah. Misalnya saja, seperti pernah penulis tuliskan sebelumnya,
pengertian kerugian immaterial dapat saja berubah dari waktu ke waktu. Namun,
bagaimana akhirnya proses pengakuan ganti rugi atas kerugian itu sendiri
terjadi, tidak berubah dari prinsip dasar, yaitu melalui sebuah proses
peradilan yang jujur dan adil. Bagaimana sebuah proses peradilan dapat tetap
menjaga nilai kejujuran dan keadilan tersebut?
Penulis kembali pada analisa Hol dan
Loth yang menempatkan prosedur peradilan sebagai sebuah sistem. Artinya,
seorang profesional hukum mesti dinilai dari peran yang disandangnya dalam
sebuah proses peradilan. Profesionalisme di mata advokat, jaksa, atau hakim
tentu saja berbeda. Perbedaan ini bukan (hanya) karena mereka memiliki pandangan
yang berbeda akan sebuah permasalahan hukum, namun karena mereka harus
menempati posisi-posisi yang memang berbeda dalam sebuah proses peradilan. Kita
tentu tidak bisa berharap bahwa seorang advokat harus menjadi hakim,
sebagaimana juga sebaliknya, seorang hakim haruslah menempatkan dirinya sebagai
seorang hakim, seorang penengah. Artinya, adagium ‘audi et alteram partem’
(dengar juga dari sisi sebaliknya) mesti berlaku tanpa kecuali. Lalu, apa
kepentingan tiap-tiap elemen masyarakat atas proses peradilan ini?
Perlu dicatat, bahwa Rawls
mendasarkan konsep keadilan proseduralnya pada teori kontrak sosial. Artinya,
proses peradilan itu akan dirasa perlu oleh seluruh elemen masyarakat, karena
hanya dengan begitu kepentingan yang mereka miliki (akan) dapat terlindungi.
Seluruh elemen masyarakat akan merasa berkepentingan pada adanya sebuah jaminan
prosedur keadilan, karena, kalau tidak, yang terjadi adalah hukum rimba.
Negaralah yang pada akhirnya memastikan bahwa proses tersebut mesti terjamin
dengan baik. Kepentingan lembaga negara sendiri, tentu saja ada pada
terciptanya keamanan dan stabilitas politik nasional.
Pendeknya, seorang profesional hukum
yang ideal di mata Hol dan Loth adalah seorang iudex mediator. Dia harus
dapat menjadi penghubung antara dua pihak yang bertikai. Selanjutnya, dia juga
harus dapat menjadi jembatan antara pihak-pihak tersebut dengan masyarakat,
serta dapat menimbang beragam kepentingan, norma, dan nilai yang ada di dalam
masyarakat. Begitulah seorang profesional hukum yang ideal menurut Hol dan
Loth. Tidak kurang, tidak lebih.
Setelah kita menengok gambaran
konsep-konsep etika profesi yang dikembangkan oleh penulis-penulis luar di
atas, pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Seperti penulis tuturkan di muka, proses pergeseran dari hukum ‘klasik’ ke
hukum ‘modern’, dilihat dari gejalanya, sedikit banyak telah mulai terjadi di
Indonesia. Sementara pihak bersikap apatis, bahkan pesimis, dalam melihat
perkembangan hukum di Indonesia (sang guru besar). Sedang sebagian lain justru
mendukung perkembangan hukum ‘modern’ tersebut, dalam hal ini menggunakan
prinsip ekonomi dalam melihat masalah hukum yang tentu merupakan sebuah bentuk
pragmatisme (sang anggota dewan). Penulis sendiri cenderung pada konsep jalan
ke tiga yang merupakan jalan tengah dari kondisi tersebut. Di satu sisi, kita
tidak bisa menegasikan terjadinya perubahan ini. Sedang di sisi lain, perubahan
tersebut harus tetap dilihat dengan semangat berpikir kritis. Sekedar untuk
saran dan masukan dari penulis bagi perkembangan hukum di Indonesia, penulis
akan mencoba menuliskan beberapa poin di bawah ini.
Pertama, mesti dipahami dan harus
terus dipahami, bahwa profesionalisme telah mulai dibentuk dari lembaga
pendidikan hukum. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan sudah semestinya turut
andil pada proses pembentukan profesionalisme ini. Semestinya, sejak jenjang S1
sudah ada satu cetak biru yang jelas tentang profil tiap-tiap mahasiswa.
Belajar dari pengalaman penulis di Belanda, setiap mahasiswa hukum S1 di
Universitas Utrecht harus memiliki portfolio yang berisi orientasi dan refleksi
kuliah mereka masing-masing. Orientasi dari satu mahasiswa, tentu berbeda
dengan mahasiswa yang lain. Keinginan individu yang satu, berbeda dengan
keinginan individu yang lain. Profesi hukum sendiri adalah profesi yang luas,
di mana setiap peran (notaris, advokat, jaksa, hakim, pembuat kebijakan, dsb.)
memiliki karakter sendiri-sendiri. Apa yang bisa ditawarkan oleh lembaga
pendidikan hukum adalah bagaimana karakter-karakter tersebut terwakili dalam
profil-profil perkuliahan yang mereka tawarkan.
Ke dua, lembaga pendidikan juga
dituntut harus mampu mentransformasikan pengajaran nilai-nilai keadilan dalam
konteks masyarakat terkini. Contoh menarik akan fenomena tersebut adalah
dibentuknya Utrecht Law College satu setengah tahun yang lalu, di mana
pendidikan hukum dihubungkan dengan konteks perkembangan masyarakat yang
menjadi latar belakangnya. Sehingga, alasan adanya ‘hirarki intelektualitas’
yang diungkapkan sang guru besar tadi, tidak lalu menjadi alasan untuk bersikap
apatis. Hal tersebut justru merupakan tantangan tersendiri bagi dunia
pendidikan hukum untuk terus dan terus meningkatkan kualitas didiknya. Sebagai
contoh, nilai-nilai dasar dalam mata kuliah Pancasila mau tak mau mesti
diterjemahkan ke dalam kondisi masyarakat terkini. Sehingga, selain merupakan
doktrin, sila-sila tersebut harus bisa menjadi landasan teoritis untuk
menganalisa produk-produk perundangan atau putusan peradilan yang ada. Untuk
itu, kerangka doktriner tersebut mesti bisa dibaca dari sudut pandang
masyarakat saat ini. Hanya dengan begitu, maka waktu yang ada tidak terbuang
untuk mempelajari suatu hal yang ‘tidak berguna’. Siapa yang mesti melakukan
ini semua? Sudah barang tentu para akademisi yang tergabung pada lembaga
pendidikanlah yang berperan mengadakan upgrade tersebut. Bukankah
nantinya lembaga-lembaga pendidikan tersebut juga harus mampu menunjukkan mutu
pendidikan yang baik? Bukankah nanti kualitas profesional hukum yang
dicetaknyalah yang akan menunjukkan jaminan mutu tersebut?
Ke tiga, ‘ontran-ontran’ yang
terjadi pada lembaga peradilan di Indonesia setidaknya bisa ditangkap sebagai
sebuah pertanda positif. Dengan tetap proporsional tentu saja. Paling tidak,
telah ada kesepakatan untuk melakukan perubahan di tubuh lembaga peradilan. Ke
arah mana, itu pertanyaannya. Dalam tulisan ini penulis telah menggambarkan
konsep keadilan prosedural. Artinya, ke depannya nanti, bukan lagi siapa yang
menjadi hakim itu penting, namun bagaimana dirinya menjalankan fungsi sebagai
hakim itulah yang lebih berperan besar. Sebuah pertanyaan praktis yang
nampaknya sepele: bagaimana dengan publikasi putusan MA? Sudahkah situs web MA
diperbarui sejak tahun 2002? Dapatkah seorang hakim mempertanggungjawabkan
integritasnya, kalau masyarakat tak tahu apa yang menjadi dasar alasan
putusannya? Setidaknya hal-hal praktis seperti ini mesti mendapat perhatian
lebih, apabila kita memang menghendaki masa depan hukum Indonesia yang lebih
cerah. Apabila lembaga peradilan terbangun dari sebuah sistem yang kokoh, kekhawatiran
sang guru besar akan manuver seorang advokat yang dapat membuat sebuah
konstruksi hukum kontrak yang canggih, sehingga kliennya dapat menang tanpa
melalui proses pengadilan, tentu tidak lagi beralasan. Bukankah hukum kontrak
juga terikat pada nilai-nilai kelaziman dan kepatutan? Bukankah nantinya pihak
yang dirugikan akan selalu dapat menuntut hal tersebut di pengadilan?
Untuk menutup tulisan ini, penulis
akan mencoba mengutip tiga adagia klasik yang menjadi pondasi hukum, paling
tidak bisa menjadi dasar-dasar pemikiran untuk merumuskan kode etik profesi
hukum. Ketiga adagia klasik tersebut adalah sebagai berikut: ius est ars
boni et aequi (hukum adalah kecakapan (menerapkan) nilai kebaikan dan
kepatutan), male enim nostro iure uti non debemus (janganlah kita salah
gunakan hukum kita), dan …neque malitiis indulgendum est (janganlah kita
menyerah pada keburukan). Bagaimana seorang profesional hukum pada akhirnya
akan memaknai adagia tersebut, kita serahkan saja pada individu itu sendiri. Rasa
tanggungjawab (responsibility) memang dimulai dari diri sendiri.
4. Kode Etik Profesi Hukum
Berkaca dari beberapa kasus hukum yang melibatkan
oknum aparat penegak hukum, yang seyogyanya menegakkan hukum justru melanggar
hukum, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, mulai dari turunnya integritas
moral, hilangnya independensi, adanya tuntutan ekonomi, minimnya penghasilan,
lemahnya pengawasan, sampai dengan ketidakpatuhan terhadap kode etik profesi
hukum yang mengikatnya.
Salah satu faktor penyebab adanya mafia peradilan
adalah semakin hilang, bahkan tidak bermaknanya lagi sebuah kode etik profesi
hukum, yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi yang menuntut adanya
pertanggungjawaban moral kepada Tuhan, diri sendiri dan masyarakat. Bertenns
menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh
kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya
bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu
dimasyarakat. Apa fungsi kode etik profesi ? Sumaryono mengemukakan tiga
fungsi, yaitu sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan
pihak lain, dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Berdasarkan
pengertian dan fungsinya tersebut, jelas bahwa kode etik profesi merupakan
suatu pedoman untuk menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari
profesi itu sendiri, sekaligus untuk menjaga kualitas dan independensi serta
pandangan masyarakat terhadap profesi tersebut, termasuk juga terhadap profesi
hukum.
Profesi hukum meliputi polisi, jaksa, hakim,
advokad, notaris dan lain-lain, yang kesemuanya menjalankan aktivitas hukum dan
menjadi objek yang dinilai oleh masyarakat tentang baik buruknya upaya
penegakan hukum, walaupun faktor kesadaran hukum masyarakat sebenarnya juga
sangat menentukan dalam upaya tersebut. Berikut ini beberapa kode etik profesi
hukum, yang apabila dipatuhi dan ditegakkan dapat menjadi upaya preventif
keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus kejahatan dan lingkaran mafia
peradilan.
Dalam kode etik kepolisian, salah satunya disebutkan
bahwa setiap anggota Polri harus ”menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap
tercela, serta mempelopori setiap tindakan mengatasi kesulitan masyarakat
sekelilingnya”. Disamping itu, setiap insan Polri juga diharapkan ”mampu
mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan penyalahgunaan wewenang”.
Sementara dalam korps Adhyaksa, diantaranya jaksa
dilarang menerima atau meminta hadiah dan tidak boleh menggunakan jabatan dan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan pihak lain, termasuk dalam merekayasa
fakta hukum dalam penanganan perkara.Dalam kode etik hakim juga diatur beberapa
larangan, seperti dilarang melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan
dengan perkara yang akan dan sedang ditangani. Kemudian dilarang juga untuk menerima
sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
Advokad merupakan profesi yang memberikan jasa
hukum, baik di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan, yang kinerjanya juga
mempengaruhi bagaimana kualitas penegakan hukum. Kode etik advokad, khususnya
dalam hubungan dengan klien, diantaranya advokad/penasihat hukum tidak
dibenarkan memberi keterangan yang dapat menyesatkan klien atau menjamin
perkara kliennya akan menang. Begitu pula dengan Notaris, sebagai salah satu
profesi hukum juga memiliki kode etik profesi dalam menjalankan profesinya,
karena notaris juga ikut serta dalam pembangunan nasional, khususnya dibidang
hukum. Dalam kode etiknya diatur bahwa notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur, tidak berpihak dan
dengan penuh rasa tanggung jawab.
Apabila kita amati beberapa ketentuan dalam kode
etik profesi hukum tersebut, kesemuanya mewajibkan agar setiap profesi hukum
itu dijalankan sesuai dengan jalur hukum dan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Namun demikian, dalam prakteknya, kode etik profesi hukum yang mengandung
pertanggungjawaban moral untuk menjaga martabat profesi, kini banyak dilanggar.
Oleh karena itu perlu ada reformasi internal aparat penegak hukum secara
konsisten, profesional dan berkelanjutan berkaitan dengan penegakan etika
profesi hukum.
C. Penutup
1. Modernisasi mesti dimengerti sebagai
sebuah proses. Sebagai sebuah proses, dengan sendirinya modernisasi bukanlah
suatu bentuk atau tatanan yang tetap. Dengan begitu, cara terbaik untuk dapat
memahami modernisasi adalah dengan memahami proses itu sendiri, dan bukan
sekedar akibatnya (masyarakat ‘modern’). Membatasi modernisasi hanya pada
sebuah bentuk masyarakat ‘modern’ hanya akan membawa pengingkaran pada proses
tersebut.
2. Kronman menggambarkan seorang profesional
hukum yang ideal sebagai seorang lawyer statesman. Profesional hukum
tersebut harus memiliki tiga elemen pokok berikut ini: kecakapan teknis
yuridis, sifat yang terpuji, serta kebijaksanaan yang membumi (phronesis).
Menurut Posner, profesi hukum tak
lain dari sebuah kartel atau sindikat yang berusaha melindungi anggotanya dari
pengaruh eksternal, yaitu pengaruh pasar dan regulasi pemerintah, serta
pengaruh internal, yaitu persaingan antar sesama mereka. Seorang profesional
hukum yang ideal adalah seorang sociaal engineer.
3. bahwa
kode etik profesi merupakan suatu pedoman untuk menjalankan profesi dalam
rangka menjaga mutu moral dari profesi itu sendiri, sekaligus untuk menjaga
kualitas dan independensi serta pandangan.
Daftar Rujukan/Pustaka
Gus Dur, Budaya
Kita di Masa Peralihan, 2004.
Suhrawardi
K Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.
Semu, Kepastian Hukum di Indonesia, Kompas, 26 November 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar