A.
Latar
Belakang Penelitian
Pembangunan
nasional yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah merupakan upaya
pembangunan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan utamanya
adalah untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil
dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang Undang Dasar Tahun
1945.
Agar
bisa mencapai tujuan tersebut, pembangunan harus dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan di berbagai
unsur pembangunan, termasuk salah satunya adalah di bidang ekonomi dan keuangan. Untuk meningkatkan
pemerataan pertumbuhan ekonomi kearah
peningkatan kesejahteraan rakyat, maka dibutuhkan suatu lembaga keuangan yang bisa menunjang dan
mendukung hal tersebut, dan lembaga yang
bisa melakukan hal itu
merupakan lembaga perbankan. Hal ini dikarenakan perbankan bergerak di bidang
ekonomi yang secara nyata
berhubungan langsung dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam Pasal 1 angka 1 memberikan
pengertian dari perbankan yaitu :
“segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara
dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.”
Masyarakat perlu melakukan usaha untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya demi meningkatkan kesejahteraannya. Dalam
kenyataannya tidak semua masyarakat terutama masyarakat lapisan menengah ke
bawah yang memiliki modal yang cukup untuk membuka atau mengembangkan usaha dan
produktifitasnya, sehingga dalam hal ini mereka membutuhkan bantuan yang berupa
pinjaman atau kredit yang bisa mereka cari, salah satunya di suatu lembaga
perbankan. Yang dimaksud dengan kredit di dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah :
“ penyediaan
uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.”
Kredit dibutuhkan oleh masyarakat baik oleh
perorangan maupun badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya ataupun
untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Kegiatan yang menyangkut produktif misalnya
masyarakat meminjam kredit di bank untuk memperluas kegiatan usahanya.
Sedangkan kebutuhan yang bersifat konsumtif misalnya masyarakat meminjam kredit
untuk membeli rumah.
Bank sebagai lembaga keuangan memiliki
peran yang strategis bagi kehidupan perekonomian masyarakat. Hal tersebut bisa
dilihat dari fungsi utama yang dimiliki oleh bank yaitu sebagai lembaga yang
menghimpun dan menyalurkan dana dari
masyarakat. Dari fungsi utama bank tersebut maka bank bisa dikatakan sebagai lembaga intermediasi
yaitu lembaga yang berfungsi sebagai
penghubung antara orang yang memiliki uang dan yang membutuhkan uang. Dengan
adanya minat dari orang yang memiliki kelebihan uang untuk menyimpan uangnya di
bank, maka bank akan bisa mengumpulkan uang atau menghimpun dana dari
masyarakat, yang kemudian dana-dana itu akan disalurkan lagi kepada masyarakat
lainnya yang membutuhkannya, dalam bentuk kredit. Penghimpunan dana merupakan
suatu jasa utama yang ditawarkan dunia perbankan, baik oleh bank umum maupun
bank perkreditan rakyat.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai
lembaga intermediasi, bank harus memegang teguh prinsip kepercayaan dan kehati-hatian.
Kedua prinsip ini harus digunakan karena untuk menekan kemungkinan terjadinya
resiko dalam melakukan kegiatan perkreditan. Seperti resiko kemungkinan tidak
dikembalikannya kredit yang telah diberikan kepada nasabah pencari kredit. Apabila
dana yang disalurkan melalui kredit tidak bisa dikembalikan, maka bank bisa
menderita kerugian dan apabila bank mengalami pailit atau bangkrut maka
simpanan penabung bisa saja tidak dibayarkan kembali.
Di negara-negara berkembang seperti
Indonesia ini, kegiatan bank terutama
dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan bank yang sangat penting dan utama sehingga
pendapatan dari kredit yang berupa bunga merupakan komponen pendapatan yang
paling besar dibanding dengan
pendapatan jasa-jasa diluar bunga kredit yang biasa disebut dengan “fee
base income”. Berbeda dengan
bank-bank di negara-negara yang ada di negara
maju, laporan keuangan menunjukkan bahwa komponen pendapatan bunga
dibanding dengan pendapatan jasa perbankan lainnya sudah cukup berimbang.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya,
bahwa dana perbankan yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit
bukanlah dana milik banksendiri tetapi merupakan dana yang berasal dari
masyarakat, sehingga penyaluran kredit yang akan dilakukan oleh bank kepada
nasabahnya, haruslah dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, melalui analisa
yang akurat dan mendalam, serta penyalurannya haruslah dilakukan dengan tepat
sasaran serta diperlukan adanya pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan juga harus memenuhi
syarat hukum. Syarat hukum ini merupakan
aspek yang sangat penting yang harus dipenuhi, hal ini dikarenakan walaupun syarat-syarat
di luar aspek hukum yang dibutuhkan
untuk pengajuan kredit telah dipenuhi semua tetapi kalau ternyata syarat
yang berkaitan dengan aspek hukum tidak memenuhi syarat
atau tidak sah maka
semua ikatan perjanjian dalam pemberian kredit dapat gugur sehingga dapat menyulitkan bank untuk menarik
kembali kredit yang telah diberikan kepada masyarakat. Oleh karena itu,
perjanjian dan dokumentasi dari pengajuan
kredit haruslah teratur dan lengkap, semuanya ini tentu saja bertujuan
agar kredit yang meliputi pinjaman pokok dan bunga yang disalurkan kepada
masyarakat tersebut, dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu bank dengan nasabah.
Peran perbankan nasional dalam
menghimpun dan terutama dalam menyalurkan dana kepada masyarakat haruslah lebih
memperhatikan pembiayaan kegiatan sektor perekonomian nasional dengan prioritas
kepada koperasi, dan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta kepada berbagai
lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi, sehingga bila dilakukan dengan
baik maka akan memperkuat struktur perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan
UMKM dan koperasi merupakan suatu bentuk kegiatan usaha yang paling banyak
terdapat di tengah masyarakat.
Tercatat sekitar 48 juta unit usaha
kecil menengah (UKM) dengan anggota 85
juta pelaku usaha. Adapun jumlah
koperasi tercatat 140.000 unit
dengan jumlah anggota 28 juta orang. Sehingga jika bank lebih memperhatikan dan memberikan kemudahan dalam
pemberian kredit kepada UMKM dan koperasi, maka jika usaha ini bisa semakin
tumbuh dan berkembang maka pendapatan orang per-orang dari Koperasi dan UMKM
juga akan terus meningkat, dan taraf hidup rakyat-pun akan meningkat. Hal ini tentu akan mengurangi kemiskinan dan
tingkat pengangguran di masyarakat, dan bila pengangguran berkurang maka
perekonomian masyarakat akan semakin
baik dan tentu saja akan berimbas pada semakin
baiknya perekonomian nasional.
Tetapi meskipun sejak dulu kredit sudah ada,
namun yang belum dioptimalkan adalah akses dan kemudahan bagi Koperasi dan UMKM
untuk mendapat kredit.
Kredit yang ditawarkan oleh lembaga perbankan, pada umumnya sering mempersyaratkan
pihak peminjam (debitur yaitu nasabah) untuk menyerahkan jaminan kepada pihak
pemberi pinjaman (kreditur yaitu bank), dengan kata lain bank dalam pemberian
kredit lebih berorientasi kepada masalah jaminan.
Namun pada tahun 2007, bekerja sama
dengan bank-bank pemerintah seperti PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ....., pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam pemberian kredit untuk mengatasi
permasalahan tersebut yaitu dengan
adanya program kredit tanpa jaminan yang mana program ini diperkenalkan oleh
pemerintah dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR).
KUR ini merupakan nama dari program
kredit tanpa jaminan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dengan tujuan untuk
menambah modal usaha dari pengusaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta
koperasi. Dengan adanya KUR ini, maka orientasi bank dalam pemberian kredit
bisa dikatakan sudah berubah, dari yang berorientasi kepada jaminan (collateral
oriented) menjadi tidak lagi berorientasi kepada masalah jaminan (non collateral oriented). Maka dengan
adanya kebijakan perkreditan ini, walaupun tanpa menyerahkan suatu jaminan,
orang sudah bisa mendapatkan kredit
jenis KUR ini. Jadi didalam kredit ini tidak terdapat penyerahan jaminan dalam
bentuk fisik, karena bank telah menggunakan dan menempatkan bonafiditas
serta prospek usaha yang telah dimiliki dan
dijalankan oleh nasabah sebagai pengganti jaminan fisik. Sehingga bisa
dikatakan untuk mendapatkan
kredit tanpa jaminan ini maka nasabah haruslah memiliki bonafiditas serta prospek usaha yang baik. Penilaian
terhadap prospek usaha nasabah merupakan bentuk kehati-hatian bank dalam
menyalurkan kredit jenis ini dan merupakan cara
bank untuk mempercayai nasabah bahwa dengan memiliki usaha yang
baik dirinya bisa mengembalikan kredit
yang dipinjamnya dari bank.
Oleh sebab itu, pembahasan kemudian
difokuskan kepada peran bank dalam menunjang kegiatan perekonomian masyarakat
lapisan menengah kebawah yang bergerak dalam usaha koperasi dan UMKM, yang
memperoleh kemudahan dari bank untuk mendapatkan kredit meskipun tanpa jaminan
yang dikenal dengan bentuk kredit usaha rakyat (KUR). Bank dalam memberikan kredit
tanpa jaminan ini, harus lebih hati-hati dan selektif terhadap setiap debitur yang mengajukan permohonan
kredit, karena kredit tanpa jaminan ini lebih mengandung banyak resiko
dibanding dengan kredit yang menggunakan jaminan, terutama dalam kaitannya
nasabah tidak bisa mengembalikan kredit yang
dipinjamnya dari bank. Sehingga bank harus benar-benar memiliki keyakinan
terhadap kemampuan nasabah untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikan sebelumnya.
B.
Identifikasi
Masalah
1. Bagaimanakah
prosedur pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank Rakyat Indonesia
(BRI) ...........?
2. Apakah
diimplementasikan asas keadilan dan asas profesionalitas dalam pemberian Kredit
Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ...............?
C.
Tujuan
Penelitian
Penetapan
tujuan yang tepat, demikian menurut pandangan Jack Canfield,
merupakan salah satu prinsip terpenting untuk sukses. Penulis sepakat dengan
Jack Canfield, bahwa dengan tujuan yang jelas akan memudahkan untuk menentukan
langkah-langkah yang selayaknya dilakukan. Demikian halnya dengan penelitian
yang terdapat dalam skripsi ini. Tujuan yang hendak dipaki oleh penulis dalam
penelitian ini berkaitan dengan fokus kajian yang telah ditetapkan dalam
identifikasi masalah di atas.
Sesuai
dengan itu, maka tujuan penelitian yang hendak penulis capai yaitu :
1. Untuk
mengetahui prosedur pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank Rakyat
Indonesia (BRI) ..............
2. Untuk
mengetahui implementasi asas keadilan dan asas profesionalitas dalam pemberian
Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ...............
D.
Manfaat
Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat
teoritis, hasil penelitian ini akan dapat memberikan. sumbangan bagi ilmu
pengetahuan hukum perdata terutama dalam bidang perbankan.
2. Manfaat
praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mencari solusi-solusi
terhadap kendala yang dihadapi dalam bidang perbankan khususnya masalah kredit.
E.
Metode
Penelitian
Metodologi
yang dipergunakan adalah :
1. Spesifikasi
Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif
analitis yang berusaha menggambarkan secara umum fakta-fakta yang ditemukan
termasuk ketentuan-ketentuan hukum in
abstraco.
Kemudian dianalisis, berdasarkan teori-teori hukum dan praktik hubungan hukum
antara pemerintah, bank, nasabah.
2. Spesifikasi
Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam
pembahasan skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah pendekatan terhadap suatu masalah
yang menitik beratkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, dimana penulis
melakukan penyelidikan terhadap Undang-undang tentang Perbankan serta
Undang-undang yang terkait dengan permasalahan ini.
3. Tahap
penelitian dilakukan dengan dua cara, yaiu :
a. Penelitian
kepustakaan yaitu kegiatan mencari data dan dilakukan dengan cara mempelajari
serta mengkaji peraturan perundang-undangan dan relevansinya dan buku-buku
referensi.
b. Penelitian
lapangan yaitu dilakukan secara langsung ke lapangan di tempat permasalahan
yaitu PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ...............
4. Teknik
Pengumpulan Data
a. Studi
Dokumentasi dilakukan melalui penelusuran dokumen-dokumen guna mendapatkan
landasan teoritis berupa pendapat-pendapat para ahli atau informasi dari pihak
yang berwenang.
b. Observasi
Lapangan dilakukan dengan cara mencari data yang diperoleh dari hasil
penelitian di lapangan.
5. Metode
Analisis Data
Analisis
data dilakukan melalui penelusuran terhadap data yang telah dikumpulkan baik
data sekunder maupun data primer, kemudian data tersebut diberikan kualifikasi
atau digolongkan sebagai suatu peristiwa hukum. Data utama dari penelitian
tersebut adalah data sekunder berupa
bahan hukum primer dalam bentuk kredit perbankan. Data tersebut kemudian
diolah, dibandingkan, dikaji, serta dianalisis, diuraikan melalui
penafsiran-penafsiran secara kualitatif sehingga hasilnya dapat diuraikan menjadi suatu hal yang ditemukan dalam
pembahasan masalah. Data lapangan hanya sebagai penunjang atau pelengkap data
sekunder.
6. Lokasi
Penelitian
Lokasi
penelitian dilakukan di PT Tbk Bank Rakyat Indonesia (BRI) ................
F.
Kerangka
Pemikiran
Untuk
memperbaiki perekonomian nasional maka harus dimulai dengan perbaikan
perekonomian daerah. Upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan perekonomian
daerah salah satunya adalah memberikan akses dan jalan yang mudah bagi koperasi serta UMKM yang banyak terdapat di dalam masyarakat untuk mengembangkan
usahanya dengan pemberian tambahan modal, yang dalam hal ini perbankan sebagai
lembaga penyedia modal keuangan sangat dibutuhkan peranannya yaitu dalam hal
pemberian kredit. Bank dalam memberikan kredit kepada masyarakat bisa
menggunakan dua cara yaitu kredit dengan menggunakan jaminan maupun kredit
tanpa menggunakan jaminan. Untuk kredit yang menggunakan jaminan tentu memiliki
sedikit resiko karena jaminan yang telah diserahkan oleh debitur kepada
kreditur dapat dicairkan (dijual) apabila debitur
cidera janji yaitu tidak dapat melunasi
kredit yang dipinjamnya atau mengalami kredit macet. Sehingga dengan adanya jaminan
maka diharapkan kerugian dari bank akibat terjadinya kredit macet dapat
diminimalkan.
Sedang
untuk kredit yang tanpa jaminan dengan sendirinya tentu memiliki lebih banyak
resiko. Sehingga dalam hal ini bank dituntut untuk lebih memperhatikan dengan
seksama terhadap kemampuan dari debitur yang mengajukan kredit tanpa jaminan seperti
dalam hal kemampuan untuk mengembalikan
kredit yang telah diterimanya dari bank. BRI sebagai bank pemerintah merupakan salah satu lembaga
perbankan yang menyalurkan kredit tanpa jaminan ini. Kredit yang diluncurkan
sekitar tahun 2007 ini, yang diperkenalkan dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR),
direncanakan oleh pemerintah akan dapat membantu perkembangan dari usaha
masyarakat yang selama ini kekurangan dan sulit mendapatkan modal dari
perbankan, serta dengan adanya
kredit tanpa jaminan ini telah menunjukkan keseriusan dari pemerintah akan
usahanya untuk membantu pengusaha kecil dan menengah serta koperasi.
Kredit
tanpa jaminan ini memang sengaja diarahkan kepada UMKM dan koperasi karena selama ini merekalah para
pengusaha yang membutuhkan tambahan
modal tetap bila ingin mengajukan kredit ke bank selalu terhadang banyak kendala seperti prosedur yang
berbelit-belit dan tentu saja masalah
jaminan. Sehingga untuk mencegah mereka mencari tambahan modal pada pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti
rentenir yang memberikan bunga yang
begitu besar, maka kredit tanpa jaminan ini dirancang memberikan kemudahan dengan bunga pinjaman
yang kecil, tidak berbelit-belit dan tanpa menggunakan jaminan apapun, karena diharapkan
dengan adanya kredit
ini kebutuhan masyarakat terhadap modal bisa terpenuhi dan tidak
memberatkan masyarakat, sehingga masyarakat dapat lebih bersemangat mengembangkan usahanya dengan meminta bantuan
ke bank untuk mendapatkan
kredit tanpa jaminan ini.
Untuk
mendapatkan kredit tanpa jaminan maka nasabah (debitur) yang mengajukan kredit harus memenuhi dan mengikuti
prosedur yang telah ditentukan oleh bank pemberi kredit yang dalam penelitian ini adalah bank BRI. Semua
syarat yang diajukan oleh bank haruslah dipenuhi karena semua ini berkaitan
dengan upaya untuk memberikan keyakinan kepada kreditur (bank) bahwa debitur mampu mengembalikan kredit sesuai
dengan perjanjian dan tidak akan sampai terjadi kredit macet. Sehingga dalam
hal ini perjanjian juga
haruslah dibuat dengan seksama dan sesuai dengan isi Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat syahnya
perjanjian. Dimana untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu
:
“Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan
untuk membuat suatu perikatan,
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.”
Dalam
proses pemberian kredit, khususnya Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada PT Tbk Bank
Rakyat Indonesia (BRI) ..................pegawai bank yang
menangani permasalahan kredit harus bisa mengimplementasikan asas keadilan dan
asas profesionalitas dalam memberikan kredit pada debitur.
G.
Sistematika
Penulisan
BAB
I. PENDAHULUAN
........................
BAB
II. TINJAUAN UMUM TENTANG BANK DAN KREDIT BANK
.........................
BAB
III. PROSEDUR PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) PADA PT TBK BANK RAKYAT
INDONESIA (BRI) ...............
...................
BAB
IV. IMPLEMENTASI ASAS KEADILAN DAN ASAS PROFESIONALITAS DALAM PEMBERIAN KREDIT
USAHA RAKYAT (KUR) PADA PT TBK BANK RAKYAT INDONESIA (BRI) ..................
....................
BAB.
V SIMPULAN DAN SARAN
.......................
Daftar
Pustaka
Daftar Pustaka.
Lampiran
Lampiran.
H. Daftar Pustaka
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Lubis, Suhrawardi, K, Etika
Profesi Hukum, Sinar Grafika, Medan, 1993.
Rachmadi, Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003.
Sudikno, Mertokusumo, Penemuan
Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, 1996.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum,
UI press, Jakarta, 1986.
Sinungan, Muchdarsyah,
Dasar-dasar
Teknik Manajemen Kredit, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Setiawan, R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,
Putra A Bardin, Bandung, 1977.
Supramono, Gatot, Perbankan dan Maslah Kredit,
Rineka Cipta, Jakarta, 2009.
Sutedi, Adrian, Hukum Perbankan, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.
Sutojo, Siswanto, Analisa Kredit Bank
Umum, Pustaka Binaman Presindo, Jakarta, 1995.
Suyanto, Thomas, at al, Dasar-Dasar
Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.
Sudarsono, Kamus Hukum, Bineka
Cipta, Jakarta, 2005.
Suharnoko, Hukum Perjanjian,
Kencana, Jakarta, 2009.
Tje’Aman, Putra, Edy, Mgs, Kredit
Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis,
Liberty, Yogyakarta, 1989.
Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Wijaya, Faried, Perkreditan dan Bank,
BPFE, Yogyakarta, 1991.
Undang Undang Dasar Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan.
A. Latar Belakang Penelitian
Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Undang Undnag Dasar Tahun 1945
adalah Negara hukum yang memberikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak warga
Negara, antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai, dan
menikmati hak milik. Hak Milik atas
tanah sebagai salah satu jenis hak milik, yang sangat penting bagi negara,
bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria yang sedang membangun
ke arah perkembangan industri dan lain-lain. Akan tetapi, tanah yang merupakan
kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal, antara lain :
1.
keterbatasan tanah, baik dalam
kuantitas maupun kualitas dibandingkan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi;
2.
Pergeseran pola hubungan antara
pemilik tanah dan tanah sebagai akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan
oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya;
3.
Tanah di satu pihak telah
tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh
sebagai bahan perniagaan dan obyek spekulasi;
4.
Tanah disatu pihak harus
dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat lahir
batin, adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.
Sebelum
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, hukum tanah
di Indonesia bersifat dualisme, artinya selain diakui berlakunya hukum tanah
adat yang bersumber dari hukum adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai
tanah yang didasarkan atas hukum barat. Setelah berlakunya UUPA pada tanggal 24
September 1960, berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang berlaku di Indonesia
menjadi suatu unifikasi hukum tanah. Hak milik sebagai suatu lembaga hukum
dalam hukum tanah telah diatur baik dalam hukum tanah sebelum berlakunya UUPA
maupun dalam UUPA. Sebelum berlakunya UUPA, ada dua golongan besar hak milik
atas tanah, yaitu hak milik menurut hukum adat, dan hak milik menurut hukum
perdata barat yang dinamakan hak Eigendom.
Kedua
macam hak milik tersebut kemudian dikonversi dalam UUPA menjadi hak milik.
Konversi hak-hak atas tanah adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan
berlakunya UUPA. Hak hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah
menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA sehingga sekarang hanya
ada satu macam hak milik atas tanah. Dalam ketentuan konversi pasal II UUPA
dinyatakan, bahwa hak Agrarische Eigendom,
Milik Yasan, Andarbeni, Hak atas Druwe, Hak atas Druwe desa, pesini, Grant
Sultan Landerijenbesitrecht, altijddurende,
erfpacht, Hak Usaha Bekas tanah partikelir dan hak lainnya dengan nama apapun
menjadi hak milik. Kecuali yang mempunyainya tidak memenuhi syarat seperti yang
tercantum dalam Pasal 24.
Peralihan
hak atas tanah dapat melalui jual beli, tukar menukar, hibah, ataupun karena
pewarisan. Dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA ditentukan bahwa “jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah”. Ketentuan Pasal 5 UUPA menegaskan : “hukum agaria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adatsepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosiologisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.” Berdasarkan persyaratan Pasal 5 tersebut, dapat
disebutkan bahwa hukum Agraria Nasional kita adalah Hukum Adat yang di-saneer.
Hal ini berarti kita menggunakan konsep,
asas-asas, lembaga-lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dan sosialisme Indonesia. Hukum Adat yang telah disempurnakan/Hukum
Adat yang telah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional.
misalnya; lembaga jual beli tanah, yang telah disempurnakan tanpa mengubah
hakikatnya sebagai perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah untuk
selama-lamanya yang bersifat tunai dan terang. Hanya saja pengertian “terang”
sekarang ini adalah jual beli dilakukan menurut peraturan tertulis yang
berlaku. Jual beli tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh
seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan setelah akta tersebut
ditandatangani oleh para pihak maka harus didaftarkan.
Perubahan
di atas bertujuan untuk meningkatkan mutu alat bukti perbuatan hukum yang
dilakukan. Menurut Hukum Adat yang masyarakatnya terbatas lingkup persoalan dan
teritorialnya, cukup dibuatkan surat pernyataan jual beli tanah di atas kertas
bermaterai oleh penjual sendiri dan disaksikan oleh kepala adat. Adapun “tunai”
maksudnya adalah pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara
serentak. Tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru
dibayar sebagian (dibayar sebagian dianggap tunai). Jadi, dengan dilakukannya
jual beli tanah dihadapan PPAT, maka
pada saat itu juga hak atas tanahnya berpindah dari penjual kepada pembeli
dengan pembayaran secara tunai dari pembeli kepada penjual.
Adapun
prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon penjual
dengan calon pembeli mengenai obyek jual belinya yaitu tanah hak milik yang
akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah diantara mereka
sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai
tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer. Pemberian panjer tidak diartikan
sebagai harus dilaksanakan jual beli itu. Dengan demikian panjer disini fungsinya
adalah hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Dengan adanya
panjer, para pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual
beli tersebut. Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar, bila yang
ingkar si pemberi panjer, panjer menjadi milik penerima panjer, sebaliknya,
bila keingkaran tersebut ada pada pihak penerima panjer, panjer harus
dikembalikan kepada pemberi panjer. Jika para pihak tidak menggunakan hak
ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanakaan jual beli tanahnya,
dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap kepala desa (adat) untuk menyatakan
maksud mereka itu, inilah yang dimaksud dengan “terang”.
Kemudian
oleh penjual dibuat surat pernyataan jual beli tanah di atas kertas bermeterai
yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk
selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara
penuh. Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh penjual dan pembeli serta
kepala desa (kepala adat). Dengan telah ditandatanganinya surat pernyataan
tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini menjadi pemegang
hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya adalah surat pernyataan jual
beli tersebut.
Sejak
berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 jungto PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di
hadapan PPAT, dipenuhi syarat “terang” (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi).
Akta
jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan
hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah
memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan
hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan
bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya
dan pembayaran harganya, dan penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang
haknya yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh para pihak dan ahli
warisnya, dan juga baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena
administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.
Praktek
jual beli tanah di Desa Sukakerta, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya lebih
banyak dilakukan di hadapan Kepala Desa daripada di hadapan PPAT atau Camat
yang diberi wewenang sebagai PPAT.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis mengemukakan masalah-masalah yang akan dikaji
dalam skripsi ini diidentifikasi sebagai berikut :
1.
Mengapa praktek jual beli tanah
di wilayah Kabupaten Tasikmalaya lebih banyak dilakukan di hadapan Kepala Desa
?
2.
Bagaimanakah upaya Camat
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam praktek pembuatan akta jual
beli serta pendaftaran tanah di Kabupaten Tasikmalaya ?
C. Tujuan dan Manfaat
Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Penetapan
tujuan yang tepat, demikian menurut pandangan Jack Canfield,
merupakan salah satu prinsip terpenting untuk sukses. Penulis sepakat dengan
Jack Canfield, bahwa dengan tujuan yang jelas akan memudahkan untuk menentukan
langkah-langkah yang selayaknya dilakukan. Demikian halnya dengan penelitian
yang terdapat dalam skripsi ini. Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam
penelitian ini yaitu :
a.
Untuk mengetahui proses jual
beli tanah di Kabupaten Tasikmalaya.
b.
Untuk mengetahui fungsi Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam peoses jual beli tanah di Kabupaten
Tasikmalaya.
2.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
a.
Manfaat teoritis, hasil
penelitian ini akan dapat memberikan. sumbangan bagi ilmu pengetahuan hukum
terutama dalam pelaksanaan jual beli tanah.
b.
Manfaat praktis, hasil
penelitian ini diharapkan dapat membantu mencari solusi-solusi terhadap kendala
yang dihadapi dalam proses jual beli tanah dan fungsi Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).
D. Kerangka Pemikiran
Tanah
dengan kedudukan Hak Milik secara adat sudah sejak dulu dikenal oleh
masyarakat. Tanah Hak Milik bagi masyarakat Indonesia bukanlah suatu hal yang
baru, landasan idiil daripada Hak Milik adalah Pancasila dan Undang Undang
Dasar Tahun 1945, secara yuridis formil, hak perseorangan ada dan diakui oleh
negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Hak Milik atas
Tanah tercantum dalam Pasal 20 ayat (1)
adalah sebagai berikut : “Hak Milik adalah hak yang turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal 6 (Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial)”. Hak Milik hanya dapat
dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang memenuhi
syarat-syarat dan ditetapkan oleh Pemerintah yaitu PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, setiap Warga Negara Indonesia yang berwenang dalam
kedudukannya dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dapat mengalihkan Hak
Milik kepada pihak lain dengan cara Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah dan
sebagainya.
Hak
Milik atas tanah dapat dipunyai oleh satu atau lebih dari satu pemilik yang
dimiliki secara bersama-sama, hal ini bisa terjadi diantaranya karena pewarisan
yang mana ahli waris dari almarhum pemilik tersebut demi hukum menjadi pemilik
tanah Hak milik tersebut.
Salah
satu peralihan hak atas tanah yang sering terjadi yaitu peralihan dengan cara
jual beli. Dalam jual beli hak milik atas tanah menurut UUPA adalah jual beli
menurut hukum adat yang telah di saneer. Untuk sahnya jual beli harus dilakukan
secara “terang dan tunai” dihadapan kepala desa. Setelah berlakunya UUPA dan
dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan telah
disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maka jual beli hak
milik atas tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dengan
dihadiri oleh para pihak baik penjual maupun pihak pembeli. Sebelum dillakukan
jual beli atas tanah yang sudah bersertifikat PPAT harus melakukan pengecekan
terlebih dahulu ke kantor pertanahan untuk mencocokkan kebenaran dari
sertipikat Hak Milik tersebut dan mengenai kewenangan bertindak dari para pihak
untuk melakukan perbuatan hukum jual beli tersebut.
Apabila
salah satu pihak tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum ini maka PPAT
dapat untuk menolak membuatkan akta jual beli hak milik atas tanah tersebut. Bila semua
persyaratan dari kewenangan melakukan perbuatan hukum dari para pihak dan
kelengkapan dokumen, maka PPAT membuatkan akta jual beli tersebut. Setelah
dibuatnya akta jual beli maka PPAT selambat lambatnya hari ketujuh harus didaftarkan
Ke Kantor Pertanahan, untuk diproses kelengkapan berkas/dokumen untuk
pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut. Setelah meneliti kelengkapan
berkas tersebut maka kantor pertanahan memproses untuk terbitnya sertipikat Hak
Milik atas tanah atas nama pembeli, yang secara hukum menjamin kepastian hukum
dan sebagai alat bukti yang kuat.
Pejabat
Pembuat Akta Tanah mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan tertib
administrasi dalam pendaftaran tanah, yang mana PPAT membantu sebagian tugas
dari Kantor Pertanahan dalam hal apabila ada perbuatan hukum. Perbuatan hukum
tersebut meliputi jual beli, tukar menukar, pemasukan kedalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama,
pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak
Tanggungan, Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan (Pasal 2 ayat (2)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006). Dalam hal
ini jual beli Hak Milik atas tanah yang
dilakukan para pihak yang berwenang sebagi subyek hukum untuk melakukan
perbuatan hukum tersebut dihadapan PPAT untuk dibuatkan akta jual beli Hak
Milik Atas Tanah secara otentik yang berada di daerah kerja PPAT yaitu daerah
Kabupaten/kota.
E. Metode Penelitian
Metode
yang dipergunakan adalah :
1.
Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis
yang berusaha menggambarkan secara umum fakta-fakta yang ditemukan termasuk
ketentuan-ketentuan hukum in abstraco.
Kemudian dianalisis, berdasarkan teori-teori hukum dan prktik hubungan hukum
antara penegak hukum, korban, pelaku.
2.
Spesifikasi Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam
pembahasan skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah pendekatan terhadap suatu masalah
yang menitik beratkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, dimana penulis
melakukan penyelidikan terhadap Undang-undang
tentang Pendaftaran Tanah serta Undang-undang yang terkait dengan
permasalahan ini.
3.
Tahap penelitian dilakukan
dengan dua cara, yaiu :
a.
Penelitian kepustakaan yaitu
kegiatan mencari data dan dilakukan dengan cara mempelajari serta mengkaji
peraturan perundang-undangan dan relevansinya dan buku-buku referensi.
b.
Penelitian lapangan yaitu
dilalkukan secara langsung ke lapangan di tempat permasalahan yaitu Desa
Sukakerta Kecamatan Jatiwaras Kabupaten Tasikmalaya.
4.
Teknik Pengumpulan Data
a.
Studi Dokumentasi dilakukan
melalui penelusuran dokumen-dokumen guna mendapatkan landasan teoritis berupa
pendapat-pendapat para ahli atau informasi dari pihak yang berwenang.
b.
Observasi Lapangan dilakukan
dengan cara mencari data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan.
5.
Metode Analisa Data
Analisis data dilakukan melalui penelusuran terhadap data yang telah
dikumpulkan baik data sekunder maupun data primer, kemudian data tersebut
diberikan kualifikasi atau digolongkan sebagai suatu peristiwa hukum. Data
utama dari penelitian tersebut adalah data sekunder berupa bahan hukum primer dalam bentuk peraturan
tentang pendaftaran tanah. Data tersebut kemudian diolah, dibandingkan, dikaji,
serta dianalisis, diuraikan melalui penafsiran-penafsiran secara kualitatif
sehingga hasilnya dapat diuraikan
menjadi suatu hal yang ditemukan dalam pembahasan masalah. Data lapangan
hanya sebagai penunjang atau pelengkap data sekunder.
6.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Sukakerta, Kecamatan Jatiwaras,
Kabupaten Tasikmalaya.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULAN
............
BAB II PERJANJIAN PADA
UMUMNYA
...............
BAB III PERJANJIAN JUAL BELI TANAH
Pada bab ke tiga dipaparkan tentang Perjanjian jual beli
tanah, Jual beli tanah, Cara pengalihan hak karena jual beli, Persyaratan,
Pendaftaran, Tentang sertifikat sebagai alat bukti hak milik.
BAB IV KAJIAN
YURIDIS TENTANG PRAKTEK JUAL BELI TANAH
DI KABUPATEN TASIKMALAYA DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN
1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH
........................
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
.......................
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka.
G. Daftar Pustaka
Abdurrahman, Aneka Masalah dalam Praktek
Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni : Bandung, 1980.
Adiwinata, Saleh. Pengertian
Hukum Adat Menurut UUPA. Alumni : Bandung, 1976.
Al Rashid, Harun, Sekilas
tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya), Ghalia
Indonesia : Jakarta, 1987.
Chandra, S. Sertifikat Kepemilikan Hak Atas
Tanah Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan, Gramedia Widiasarana
Indonesia : Jakarta, 2005.
Chulaimi, Achmad. Hukum
Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan Pemindahannya,
FH-UNDIP : Semarang. 1986.
Effendi, Bachtiar. Pendaftaran
Tanah di Indonesia Beserta Pelaksanaannya. Alumni : Bandung. 1983.
Gautama, Sudargo. Tafsiran
UUPA. Alumni : Bandung, 1983.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research Jilid I.
ANDI : Yogyakarta, 2000.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanaannya. Djambatan : Jakarta, 2000.
_______. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan : Jakarta. 1999.
_______. Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat Pada Hak
Milik Atas Tanah. Paper. Disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut
UUPA. Jakarta, 1983.
Hermit, Herman. Cara Memperoleh Sertifikat Tanah
Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda. Teori dan Praktek Pendaftaran anah di
Indonesia, Mandar Maju : Bandung.
2004.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan
Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, 1996.
Soekanto,
Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, 2008.
_______________, Pengantar
Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, 1986.
Undang Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.