KEKERASAN ORANG TUA TERHADAP ANAK DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Usulan Penelitian)
A.
Latar
Belakang Penelitian
Kedudukan
anak dalam rumah tangga sebenarnya dalam posisi lebih lemah, lebih rendah
karena secara fisik, mereka memang lebih lemah dari pada orang dewasa dan masih
bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya. Dalam penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hak-hak dan kewajiban anak dalam rumah tangga,
bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, faktor-faktor
penyebab terjadinya kekerasan anak dalam rumah tangga, bentuk perlindungan hukum
terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan aspek hukum
kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.
Keluarga adalah lingkungan pertama dalam
kehidupan anak, tempat dimana anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk
sosial. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan
pendidikan kepada anak.
Pendidikan dalam keluarga sangat menentukan sikap seseorang, karena orangtua
menjadi basis nilai bagi anak. Pola asuh, peran dan tanggung jawab yang
dijalankan oleh orang tua dalam menerapkan disiplin pada anak bukan merupakan
pekerjaan yang mudah, dimana kadang kala orang tua mengalami hambatan.
Hambatan-hambatan tersebut berujung pada perlakuan yang salah kepada anak.
Kasus-kasus perlakuan salah yang menimpa
anak-anak yang seringkali terjadi adalah kekerasan pada anak. Selama tahun 2006
(dalam Andez, 2007), data dari komnas Perlindungan Anak (PA) menyebutkan,
jumlah kekerasan fisik sebanyak 247 kasus, kekerasan seksual 426 kasus
sedangkan kekerasan psikis 451 kasus. Kekerasan yang menimpa anak-anak, baik
dari keluarga, sekolah, maupun lingkungan sekitar, terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Tingginya kekerasan pada anak memperlihatkan bahwa
persoalan kekerasan menjadi persoalan yang amat serius, apalagi kekerasan
tersebut dilakukan oleh orang tua sendiri. Dimana orangtua seharusnya menjadi
seorang yang paling bertanggung jawab atas tumbuh dan berkembangnya anak karena
keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk belajar dan menyatakan
diri sebagai mahluk sosial.
Dari sekian pengaduan kekerasan yang
diterima komnas Perlindungan Anak (PA), pemicu kekerasan terhadap anak yang
terjadi diantaranya adalah pertama, munculnya kekerasan dalam rumah tangga,
terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang
lainnya menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak
seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Kedua, terjadinya disfungsi
keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Ketiga,
faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya
kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak
terjadi.
Tindak kekerasan terhadap anak merupakan
salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun banyak upaya telah
dilakukan oleh pemerintah, seperti penyusunan Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP), pembangunan pusat-pusat krisis terpadu
di rumah sakit, pembangunan ruang pelayanan khusus (RPK) di Polda dan Polres,
dan penyebaran informasi dan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan
anak, namun kesemua upaya tersebut belum cukup untuk menekan tingginya tindak
kekerasan dan eksploitasi terhadap anak.
Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam
meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan
kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang
kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi
kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak
mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi
dengan orang lain. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal
aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Banyak orangtua menganggap kekerasan
pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah salah satu
cara mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Kekerasan pada
anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental,
dan seksual termasuk hinaan meliputi; penelantaran dan perlakuan buruk,
Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking atau jual-beli
anak.
Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah orang tua.
Patilima mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala perlakuan
terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang
anak, baik secara fisik, psikologi sosial, maupun mental. Hal ini mendorong
penulis untuk melakukan penelitian mengenai kekerasan orang tua terhadap anak.
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka peneliti mengemukakan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud kekerasan orang tua terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ?
2. Hak-hak
apa saja yang menjadi hak anak dalam instrumen hukum perlindungan anak ?
C.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Penetapan tujuan yang tepat, demikian menurut
pandangan Jack Canfield,
merupakan salah satu prinsip terpenting untuk sukses. Penulis sepakat dengan
Jack Canfield, bahwa dengan tujuan yang jelas akan memudahkan untuk menentukan
langkah-langkah yang selayaknya dilakukan. Demikian halnya dengan penelitian
yang terdapat dalam skripsi ini. Tujuan yang hendak dipakai oleh penulis dalam
penelitian ini berkaitan dengan fokus kajian yang telah ditetapkan dalam
identifikasi masalah di atas.
Sesuai dengan itu, maka tujuan penelitian yang
hendak penulis capai yaitu :
a. Untuk
mengetahui bagaimana kekerasan orang tua terhadap anak.
b. Untuk
mengetahui kekerasan orang tua terhadap anak dihubungkan dengan Undang-Unadang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2.
Manfaat
Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
a. Manfaat
teoritis, hasil penelitian ini akan dapat memberikan. sumbangan bagi ilmu
pengetahuan hukum pidana terutama dalam pelaksanaan perlindungan anak dari segi
kekerasan orang tua terhadap anak.
b. Manfaat
praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mencari solusi-solusi
terhadap kendala yang dihadapi dalam proses perlindungan anak.
D.
Kerangka
Pemikiran
Setiap kali kita mendengar kata kekerasan, mungkin yang sering terbesit
dalam benak kita adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, caci
maki, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak.
Pada kenyataannya, kekerasan pada
anak-anak tidak hanya sebatas itu dan tanpa disadari banyak dilakukan oleh
orangtua atau pengasuh. Dari hasil riset yang dilakukan oleh Mitra Perempuan
Women´s Crisis Centre, sebuah lembaga pendampingan bagi perempuan dan
anak-anak yang mengalami kekerasan terutama dalam rumah tangga, menunjukkan
bahwa jumlah anak yang mengalami penganiayaan meningkat dari tahun ke tahun
dengan bentuk-bentuk penyiksaan fisik dan seksual.
Ada beberapa situasi yang
menyulitkan orang tua dalam menghadapi anak sehingga tanpa disadari mengatakan
atau melakukan sesuatu yang tanpa disadari dapat membahayakan atau melukai
anak, biasanya tanpa alasan yang jelas. Kejadian seperti inilah yang disebut
penganiayaan terhadap anak. Dalam beberapa laporan penelitian, penganiayaan
terhadap anak dapat meliputi: penyiksaan fisik, penyiksaan emosi, pelecehan
seksual, dan pengabaian.
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya penganiayaan terhadap anak antara
lain immaturitas/ketidak matangan
orang tua, kurangnya pengetahuan bagaimana menjadi orang tua, harapan yang
tidak realistis terhadap kemampuan dan perilaku anak, pengalaman negatif masa
kecil dari orang tua, isolasi sosial, problem rumah tangga, serta problem
obat-obat terlarang dan alkohol. Ada juga orang tua yang tidak menyukai peran
sebagai orang tua sehingga terlibat pertentangan dengan pasangan dan tanpa
menyadari bayi/anak menjadi sasaran amarah dan kebencian.
1.
Penyiksaan fisik
Segala bentuk penyiksaan fisik
terjadi ketika orang tua frustrasi atau marah, kemudian melakukan
tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat berupacubitan, pukulan,
tendangan, menyulut dengan rokok, membakar, dan tindakantindakan lain yang
dapat membahayakan anak. Sangat sulit dibayangkan bagaimana orang tua dapat
melukai anaknya. Sering kali penyiksaan fisik adalah hasil dari hukuman fisik
yang bertujuan menegakkan disiplin, yang tidak sesuai dengan usia anak. Banyak
orang tua ingin menjadi orang tua yang baik, tapi lepas kendali dalam mengatasi
perilaku sang anak.
2.
Efek dari penyiksaan fisik
Penyiksaan yang berlangsung
berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap
anak, dan meninggalkan bekas baik fisik maupun psikis, anak menjadi menarik
diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust kepada orang lain,
perilaku merusak, dll. Dan bila kejadian berulang ini terjadi maka proses recovery-nya
membutuhkan waktu yang lebih lama pula.
3.
Penyiksaan emosi
Penyiksaan emosi adalah semua
tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain. Jika hal ini menjadi pola
perilaku maka akan mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya.
Hal ini dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak
berharga untuk dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan,
dihina, diancam atau ditolak akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah
hebatnya dari penderitaan fisik. Bayi yang menderita deprivasi (kekurangan)
kebutuhan dasar emosional, meskipun secara fisik terpelihara dengan baik,
biasanya tidak bisa bertahan hidup. Deprivasi emosional tahap awal akan menjadikan
bayi tumbuh dalam kecemasan dan rasa tidak aman, dimana bayi lambat
perkembangannya, atau akhirnya mempunyai rasa percaya diri yang rendah.
Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah :
a. Penolakan. Orang tua mengatakan
kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir anak, atau memanggil anak
dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak menjadi kambing hitam
segala problem yang ada dalam keluarga.
b. Tidak diperhatikan. Orang tua yang
mempunyai masalah emosional biasanya tidak dapat merespon kebutuhan anak-anak
mereka. Orang tua jenis ini mengalami problem kelekatan dengan anak. Mereka
menunjukkan sikap tidak tertarik pada anak, sukar memberi kasih sayang, atau
bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak orang tua yang secara
fisik selalu ada disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali tidak memenuhi
kebutuhan emosional anak.
c. Ancaman. Orang tua mengkritik,
menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam jangka panjang keadaan ini
mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau bahkan terancam kematian.
d. Isolasi. Bentuknya dapat berupa
orang tua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan bersama teman sebayanya,
atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang mendapat stimulasi dari
lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu sampai waktu tertentu.
e. Membiarkan anak terlibat
penyalahgunaan obat dan alkohol, berlakukejam terhadap binatang, melihat
tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan seperti mencuri, berjudi,
berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil, membiarkannya menonton
adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di televisi termasuk juga dalam
kategori penyiksaan emosi.
4.
Efek dari penyiksaan emosi
Penyiksaan emosi sukar
diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata
seperti penyiksaan fisik. Dengan begitu, usaha untuk menghentikannya juga tidak
mudah. Jenis penyiksaan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang
termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri,
kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak seperti tiba-tiba membakar
barang atau bertindak kejam terhadap binatang, beberapa melakukan agresi,
menarik diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh
diri.
5.
Pelecehan seksual
Sampai saat ini tidaklah mudah
membicarakan hal ini, atau untuk menyadarkan masyarakat bahwa pelecehan seksual
pada setiap usia termasuk bayi mempunyai angka yang sangat tinggi. Bahkan
Hopper (2004) mengemukakan bahwa hal ini terjadi setiap hari di Amerika
Serikat. Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam
aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu
mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya.
Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk dalam
kategori ini :
a. Pelecehan seksual tanpa sentuhan.
Termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi, atau exhibitionisme, dan sebagainya.
b. Pelecehan seksual dengan sentuhan.
Semua tindakan anak menyentuh organ seksual orang dewasa termasuk dalam kategori
ini. Atau adanya penetrasi ke dalam vagina atau anak dengan benda apapun yang
tidak mempunyai tujuan medis.
c. Eksploitasi seksual. Meliputi semua
tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan
anak sebagai model foto atau film porno.
6.
Efek pelecehan seksual
Banyak sekali pengaruh buruk yang
ditimbulkan dari pelecehan seksual. Pada anak yang masih kecil dari yang
biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola
tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut
atau adanya masalah kulit, dan lain-lain. Pada remaja, mungkin secara tidak
diduga menyulut api, mencuri, melarikan diri dari rumah, mandi terus menerus,
menarik diri dan menjadi pasif, menjadi agresif dengan teman kelompoknya,
prestasi belajar menurun, terlibat kejahatan, penyalahgunaan obat atau alkohol,
dam sebagainya.
7.
Pengabaian anak
Pengabaian terhadap anak termasuk
penyiksaan secara pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik
fisik, emosi maupun sosial. Pengabaian anak banyak dilaporkan sebagai kasus
terbesar dalam kasus penganiayaan terhadap anak dalam keluarga. Jenis-jenis
pengabaian anak :
a. Pengabaian fisik merupakan kasus
terbanyak. Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang
memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
b. Pengabaian pendidikan terjadi ketika
anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat
berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi
sekolah yang semakin menurun.
c. Pengabaian secara emosi dapat
terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ´ribut´
dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang
berbeda diantara anak-anaknya.
d. Pengabaian fasilitas medis. Hal ini
terjadi ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis untuk anak meskipun
secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua memberi pengobatan
tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke layanan
dokter.
8.
Efek pengabaian anak
Pengaruh yang paling terlihat adalah
kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Bayi yang
dipisahkan dari orang tuanya dan tidak memperoleh pengganti pengasuh yang
memadai, akan mengembangkan perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku
akrab (Hurlock, 1990), dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri
pada masa yang akan datang.
9.
Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi besar/kecil dampak yang diderita anak
Disamping segala bentuk penganiayaan
yang dialami anak sebagaimana yang tercantum diatas, ada beberapa hal yang
mempunyai andil dalam besar/kecilnya dampak yang diderita anak, antara lain :
a. Faktor usia anak. Semakin muda usia
anak maka akan menimbulkan akibat yang lebih fatal.
b. Siapa yang terlibat. Jika yang
melakukan penganiayaan adalah orang tua, ayah atau ibu tiri, atau anggota
keluarga maka dampaknya akan lebih parah daripada yang melakukannya orang yang
tidak dikenal.
c. Seberapa parah. Semakin sering dan
semakin buruk perlakuan yang diterima anak akan memperburuk kondisi anak.
d. Berapa lama terjadi. Semakin lama
kejadian berlangsung akan semakin meninggalkan trauma yang membekas pada diri
anak.
e. Jika anak mengungkapkan penganiayaan
yang dialaminya, dan menerima dukungan dari orang lain atau anggota keluarga
yang dapat mencintai, mengasihi dan memperhatikannya maka kejadiannya tidak
menjadi lebih parah sebagaimana jika anak justru tidak dipercaya atau
disalahkan.
f. Tingkatan sosial ekonomi. Anak pada
keluarga dengan status sosial ekonomi rendah cenderung lebih merasakan dampak
negatif dari penganiayaan anak.
E.
Metode
Penelitian
Metodologi
yang dipergunakan adalah :
1. Metode
Pendekatan : Yuridis Normatif
Yaitu,
kajiannya terfokus pada persoalan hukum khususnya tentang tindakan-tindakan
yang dikualifikasikan terhadap kekerasan orang tua terhadap anak dihubungkan
dengan Unadang-unadang No. 23 Tentang Perlindungan Anak.
2. Teknik
Pengumpulan Data:
a. Pengumpulan
data dilakukan dengan study dokumen untuk memperoleh data skunder.
b. Wawancara.
3. Analisis
Data :
Data sekunder yang diperoleh disusun
secara sistematis dan kemudian substansinya dianalisis secara yuridis untuk
memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan.
F.
Sistematika
Penulisan
BAB I. PENDAHULAN
........
BAB II. PENGERTIAN UMUM
KEKERASAN
........
BAB III. KEKERASAN
ORANG TUA TERHADAP ANAK
.........
BAB IV. KEKERASAN ORANG TUA
TERHADAP ANAK DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN NANAK
.........
BAB V. SIMPULAN DAN
SARAN
.........
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
G. Daftar Pustaka
Atmasasmita, Ramli, Perlindungan Anak Indonesia,
Bandung, Mandar Maju, 1997.
Aminah, Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak,
Medan, 1998.
Canfield, Jack, The Succses Principles,
Gramedia, Jakarta, 2006.
Harahap Yahya, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2000
Joni, Muhammad, Aspek Hukum Perlindungan
Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999.
Jalaludin, Rachmat, Tindakan Kekerasan Terhadap Anak,
Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999.
Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Muladi, Hak Asasi Manusia,
Aditama, Bandung, 2005.
Rusli, Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007.
Sungkawa, Eman, Inrisari Hukum Pidana,
Alumni STHG Tasikmalaya, Tasikmalaya, 2004.
_______________, Intisari Hukum Acara Pidana,
Alumni STHG Tasikmalaya, Tasikmalaya, 2004.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia, 2008.
Sholehhudin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Schaffmeister, at.al, Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Sasangka, Hari, Hak Asasi Manusia, Mandar
Maju, Bandung, 2010.
Sadaswati, Riska, Hukum Perlindungan Anak di
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak,
Mandar Maju, Bandung, 2009.
Sumber Lain
:
Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
bermanfaat untuk di baca,, kunjungi juga
BalasHapusDep. Perdata FH UII Selenggarakan Kuliah Umum Hadapi MEA Soal Perlindungan Konsumen